Ketika Islam Menjadi Kedok Politik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Suhu politik di Indonesia saat ini sudah memanas. Rakyat Indonesia akan dihadapkan dengan dua masa, di mana masa yang pertama hanya sebagian daerah di Indonesia yang mengalaminya dan di masa yang kedua seluruh rakyat Indonesia akan mengalaminya. Kedua masa itu tidak bisa lepas lagi, karena masa politik itu hasil kebijakan yang tertuang dalam aturan yang telah disepakati. Masa yang pertama adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2018 dan masa yang kedua adalah Pemilihan Legislatif (Pileg) dengan sekaligus Pemilihan Kepala Negara di tahun 2019.

Suasana tersebut akan mempengaruhi segala aspek yang ada di Indonesia ini, baik aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi dan lainnya, terkhususnya agama. Keadaan ini, apakah ia membawa ke perbaikan negara atau tidak tergantung kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang bebas ini, menuntun kita supaya bisa lebih menjaga diri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai masyarakat yang paling berperan nantinya, kita harus betul menyaring informasi-informasi yang bertebaran.

Dalam suasana tersebut, “barang” yang paling laku untuk pasarkan dan lebih mudah memantik gerak rakyat kita adalah ketika agama dijadikan kedok politik oleh para politisi. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, dan politisi kita banyak yang beragama Islam, akan bertarung merebut hati atau simpatik umat Islam Indonesia. Maka dari itu embel-embel Islam pun menjadi jargon mereka. Tokoh-tokoh agama Islam pun banyak dikontrak oleh salah satu calon untuk dapat mempengaruhi umat Islam agar memilihnya.

Kita mengetahui latar belakang para politisi kita, siapa dia dan bagaimana aktivitas dia sebelum mencalonkan diri, akan tetapi dengan target ingin memperoleh suara terbanyak dalam Pemilihan Umum (Pemilu) agama pun dijadikan kedok. Embel-embel Islam dijadikan jargon atau dibuat daya tarik bukan karena untuk Islam itu sendiri, tapi supaya dapat simpatiknya umat Islam Indonesia. Maka tidak jarang, hari ini para politisi kita melukan kampanye-kampanye dengan melibatkan tokoh-tokoh agama Islam, kegiatan-kegiatan bernuansa Islami dan kegiatan Islami lainnya. Sumbangan dana keberbagai lembaga sosial Islam, seperti Panti Asuhan, Pondok-pondok Pesantren dan lainnya.

Islam menjadi kedok belaka. Ya, saya berpikiran begitu. Alasan saya mengatakan hal ini karena mayoritas yang membuat jargon-jargon bernuansa Islami tersebut bertujuan untuk menarik suara umat Islam, tidak murni untuk menegakkan atau menerapkan nilai-nilai Islam, money politic tetap juga dilakukan. Secara realitasnya, dan sudah kita alami bersama sebelumnya, bahwa banyak politisi kita beragama Islam yang sudah duduk di kursi legislatif dan ekskutif tidak mau atau enggan menjadikan Islam sebagai landasannya dalam berpolitik. Ajaran Islam ia gunakan sebagian karena sesuai dengan tujuannya. Hal ini, Allah SWT. telah memperingatkan jangan mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil.

Ajaran Islam telah mengajarkan kepada umat Islam supaya tidak mencampur adukkan sesuatu yang bertentangan dengannya. Yang salah atau yang tidak sesuai dengan Islam harus betul-betul ditolak. Akan tetapi, dalam praktiknya, masih yang melakukan pencampur-adukan itu demi kepentingan sekelompok politisi. Padahal ia (politisi Islam) awalnya telah membawa jargon-jargon Islam dan disumpah di bawah firman Allah (Al-Qur’an). Tooh, Islam ternyata di politisir dengan menjadikan Islam sebagai barang dagangan atau pengharum untuk menarik suara mayoritas Islam.

Nah, apakah yang harus dilakukan oleh umat Islam Indonesia supaya tidak salah memilih wakilnya di lembaga legislatif dan tidak salah memilih pemimpinnya di daerah maupun di pusat? Tidak ada cara lain selain harus betul-betul memahami latar belakang politisi tersebut. Siapakah dia, bagaimana kehidupannya, dan apa visi dan misinya untuk perbaikan negara dan ummat. Jangan lekas percaya akan jargon yang dibuat karena kekhawatiran Islam hanya dijadikan kedok belaka, setelah mendapatkan jabatan Islam dibuang. Dan jangan pernah bersedia suara kita dibeli dengan materi oleh seorang politisi. Opini Sumut, Ibnu Arsib

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum dan Kader HMI Cabang Medan.

- Advertisement -

Berita Terkini