Wanita dan Politisasi Dosa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Beberapa saat yang lalu sedang masyhur apa yang dinamakan dengan “dosa jariah”. Beberapa tokoh agama adalah yang memperkenalkan konsep ini di tengah jamaahnya. Perlu diketahui bahwa dosa jariah adalah dosa yang terus menerus dicatat oleh malaikat. Salah satu contoh dosa jariah adalah foto seorang wanita. Salah seorang Tokoh agama menyebutkan bahwa ketika tidurpun malaikat mencatat dosa wanita itu. Bahkan sampai wanita itu mati pun dosa nya tetap dicatat. Usul punya usul kenapa sang wanita setiap waktu dicatat dosanya disebabkan karena ia mengupload fotonya di medsos sehingga banyak dilihat serta disimpan oleh laki laki. Begitu menurut sang ustaz. Tidak jelas fotonya menutup aurat atau tidak, yang penting menurut sang Ustaz bahwa wanita itu tetap terkena “dosa jariah”.

Dari pemaparan contoh dosa jariah diatas tampak sekali bahwa wanita memang benar benar menjadi objek politisasi dosa. Pertanyaan kita ketika membaca hal diatas adalah, kenapa tidak laki-laki yang mendapatkan dosa yang lebih besar karena ia telah mencuri sekaligus menyimpan foto perempuan yang bukan muhrimnya ?! kenapa tidak laki-laki yang mendapatkan dosa yang lebih besar karena otak mereka yang “ngeres” ketika melihat foto wanita walau bukan telanjang ?! Penulis heran kenapa wanita selalu menjadi objek politisasi dosa dari zaman nabi Adam hingga zaman sekarang ini.

Diantara sebagian kepercayaan beragama sebagian kelompok dapat kita jumpai memang bahwa perempuan memang selalu menjadi korban politisasi dosa. Menurut mereka, nabi Adam dikeluarkan di surga dikarenakan oleh godaan perempuan ketika itu yang menyuruh nabi Adam untuk memakan buah khuldi. Padahal kita ketahui bahwa yang meggoda nabi Adam itu bukan Istrinya tapi Setan. Yang lebih parahnya adalah kelompok ini mengatakan bahwa suara perempuan itu aurat. Penulis jelaskan bahwa aurat itu berasal dari bahasa Arab yang berarti cacat, harus ditutupi, kalau tidak akan berdosa. Menurut penulis hal ini adalah salah satu bentuk politisasi dalil. Karena dengan itu wanita tak boleh protes dengan apa-apa yang terjadi dengan diri mereka alias dibungkam.

Bayangkan wahai pembaca, betapa bahayanya apabila wanita menjadi objek politisasi dosa. Kita ketahui bahwa jumlah wanita di dunia ini dua kali lipat lebih banyak dari jumlah laki-laki. Jika suara mereka dibungkam dan hanya menjadi sampah masyarakat betapa rendahnya martabat wanita-wanita itu. Sehingga menyuarakan pendapat saja tak boleh apalagi jadi pemimpin. Apakah Tuhan sekejam itu ??

Untuk itu perlu penulis kemukakan pernyataan Amina Wadud, seorang aktifis perempuan dalam bukunya Women and the qur’an, bahwa diperlukan lensa baru dalam memahami teks-teks keagamaan, dalam hal ini lensa yang digunakan adalah lensa perempuan. Menurutnya, mayoritas semua tafsiran teks-teks keagamaan masih “Mile Oriented”. Hal ini mungkin dikarenakan faktor para penafsir itu sendiri yang kebanyakan adalah laki-laki.

Terakhir, dengan tulisan ini penulis ingin membangkitkan semangat berfikir dan berkarya para wanita sehingga tak mudah menjadi objek seksualitas saja oleh laki-laki yang ‘ngeres’ otaknya dan menjadi korban politisasi dosa oleh tokoh agama yang masih ‘mile oriented’. Semoga… Opini Sumut, Aulia Rahman

Penulis adalah mahasiswa asal Langkat dan Aktifis Gusdurian Malang, Jawa Timur.

- Advertisement -

Berita Terkini