Terpaku Mati Negeri Sedang Berkembang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sejak kita menganal kata-kata. Sejak kita mulai bisa menghafal kata-kata. Para guru-guru kita, tokoh masyarakat, ayah-ibu kita, kakek-nenek kita, bahkan hampir semua orang di sekitar kita mengatakan bahwa: “negeri kita sedang berkembang. Negara Indonesia ini sedang berkembang. Berkembang…berkembang…dan sedang berkembang.”

Kata itu terpaku mati di pikiran kita. Seperti sebuah nama terpaku mati di batu nisan. Seperti suatu kata dalam prasasti. Kata yang terpaku mati pada tugu.

Sebenarnya apanya yang sedang berkembang? Apakah penindasan yang terus berkembang dengan format yang berbeda? Apakah kezaliman yang sedang berkembang di negeri ini? Kemaksiatan yang berkembang? Pengrusakan bangsa yang berkembang? Koruptor yang beranak pinak? Atau kantong-kantong segelintir orang yang terus-menerus berkembang dan menebal?

Konon katanya negeri tidak maju-maju karena lama dijajah dan usia kemerdekaannya masih muda. Konon katanya anak-anak bangsa tidak semaju anak-anak bangsa di Eropa. Ada pula yang mengatakan karena banyak tidak taat dengan aturan negara dan tidak ada kesadaran rakyatnya. Apakah itu faktornya? Atau faktor yang dicocokkan-ilmu cocokologi.

Lantas coba anda lihat Jepang dan India. Negara yang lebih muda usianya dibanding Indonesia, dapat maju tooh, disegani dunia dan bisa membuat produk sendiri yang sangat membanggakan. Apakah Indonesia tidak bisa seperti Jepang dan India, atau masihkah karena faktor usia suatu negara? Banyak negara-negara yang sudah tua usianya, tak maju-maju juga. Cari sendiri sajalah negara-negara mana yang saya maksud tersebut.

Apakah kita tidak punya anak-anak bangsa yang cerdas dan maju seperti anak-anak bangsa Eropa? Coba lihat Habibie, anak asli bangsa Indonesia yang disegani di Jerman-bahkan di dunia. Coba anda cari siapa yang menemukan 4G? Belum lagi ada bakat-bakat anak bangsa kita yang terpendam dan tidak diketahui karena kita sibuk mendatangkan ahli dari luar negeri. Kurang apalagi anak-anak bangsa kita yang tamatan dari luar negeri. Kurang apalagi Indonesia ini yang memiliki tokoh-tokoh agama, politik, ekonomi, sosial, hukum yang disegani di dunia ini. Kurang apalagi sastrawan-sastrawan kita yang tidak kalah hebat seperti Khalil Gibran. Kurang apalagi anak-anak bangsa kita yang menjadi juara MTQ tingkat dunia. Jangan-jangan mereka sengaja “dibunuh” supaya tidak dapat berkreasi di Indonesia ini. China, negara yang paling gemar meniru bisa kok maju.

Apakah tidak ada kesadaran, tidak kreatif atau tidak taat aturan? Sekarang siapakah yang tidak taat aturan, toh korupsi berjemaah dilakukan oleh orang-orang yang membuat dan yang mengawasi aturan. Siapa yang tidak sadar bahwa uang yang masuk ke kantong itu adalah uang rakyat. Uang mereka yang dipaksa membayar pajak dengan sistem aturan tertentu dengan dalih untuk pembangunan. Siapakah yang melakukan pungutan liar (pungli), mungkinkah rakyat kecil yang melakukannya? Siapa yang tidak kreatif? Kenapa jika anak-anak bangsa berkreasi membuat sesuatu harus ada izin negara. Bukankah negara ini sudah negara yang demokrasi? Biarkanlah rakyat yang menjadi pengendali seutuhnya demokrasi itu. Apa layak negara ini disebut negara demokrasi tapi ketentuan-ketentuan masih dalam pengekangan pemerintahan.

Kurang berpendidikan akademikkah rakyat kita ini? Saya tidak yakin kalau kita kurang berpendidikan. Coba dilihat dan dibaca datanya berapa jumlah di seluruh Indonesia ini yang sarjana (S1), S2, Doktor dan bahkan jumlah Profesor-tentunya sangat banyak. Jumlahnya pasti ratus ribuan atau bahkan sampai jutaan.

Saya merasa rakyat ini atau negeri kita ini seperti cerita horor: Kuntilanak kalau dipaku tepat di kepalanya, dia akan berubah menjadi wanita cantik dan ikut perintah siapa yang menancapkan paku di kepalanya.

Nah, Seperti itukah pemikiran dan keadaan rakyat kita yang sudah dipaku mati oleh kata-kata: negara ini sedang berkembang-kita sedang berkembang dan belum maju. Kalau begitu siapakah yang menancapkan paku “berkembang” itu di kepalanya rakyat ini, “dikepalanya” negara ini. Atau kepala negara ini hingga sampai kepala yang terendah telah dipaku mati kepalanya ketika haru penyumpahannya. Percuma dong Al-Qur’an itu berada di atas kepalanya. Lebih kedepannya, siapa yang menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan sampai yang tingkat terendah harus dipaku saja kepalanya.

Karena alasan negara ini sedang berkembang, maka harus dilakukan pembangunan-yang jadi pertanyaan sekarang adalah kenapa alasan pembangunan pemangku-pemangku kekuasaan atau wakil-wakil rakyat “menyembah” kepada negara lain, “menyembah” cukong-cukong dan kepada bangsa lain. Sering menjadi alasan karena kita belum mampu. Lantas untuk apa anak-anak negeri ini bersekolah tinggi-tinggi hingga mendapat titel Profesor-Doktor. Untuk apa sekolah jauh-jauh hingga ke luar negeri. Setelah mereka pulang kenapa tidak diperdayakan untuk memajukan negara ini. Untuk apa kampus-kampus berdiri megah nan indah kalau tidak bisa menciptakan kemajuan-peradaban. Kapan majunya kalau kita terus mendewakan-menuhankan orang-orang lain itu. Tidak akan maju kalau kita tidak percaya diri untuk membangun dan mamajukan negeri sendiri. Tidak akan maju negeri ini kalau birokrat, politisi dan pemangku kekuasaan masih mementingkan dan mengutamakan kelompok-kelompoknya. Opini Medan, Ibnu Arsib Ritonga

Penulis adalah Kader HMI Cabang Medan

- Advertisement -

Berita Terkini