Dakwah Warung Kopi Cegah Radikalisme

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM. Opini Medan – SUMUT. Radikalisme merupakan masalah serius dan sensitif yang hingga saat ini masih menghantui kehidupan rakyat Indonesia. Secara umum radikalisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham yang menginginkan adanya perubahan sosio politik secara drastis, sekalipun perubahan tersebut dilakukan melalui kekerasan. Radikalisme memiliki tiga dimensi dasar: pertama, adanya anggapan seseorang atau sekelompok orang bahwa paham yang dianut adalah yang paling benar; kedua, adanya pemikiran bahwa kekerasan merupakan cara yang legal untuk mengubah keadaan menjadi seperti yang diinginkan; dan ketiga, adanya usaha aktif untuk melakukan perubahan secara drastis di dalam tatanan masyarakat.

Pada realitanya isu radikalisme sering berkelindan dengan agama. Hal ini terjadi karena banyak sekali pelaku radikalisme yang mengggunakan atribut dan jargon keagamaan dalam aksinya. Akibatnya radikalisme memunculkan kesan-kesan negatif dan mendiskreditkan agama tertentu. Harus diakui pula bahwa agama yang paling sering menjadi sorotan terkait isu radikalisme di Indonesia adalah Islam yang notabene agama mayoritas. Beberapa ormas Islam dipandang kerap menggunakan kekerasan untuk mengaktualisasikan secara paksa paham keagamaan yang dianutnya kepada orang lain yang berbeda paham.

Muslim Radikal
Stigma kekerasan yang dilekatkan pada beberapa ormas Islam menciptakan asumsi pada sebagian orang bahwa radikalisme memiliki keterkaitan dengan Islam, yang selanjutnya memunculkan istilah Islam radikal. Melalui tulisan ini penulis merasa perlu mengklarifikasi penggunaan istilah Islam radikal. Dalam pemaknaan penulis, istilah Islam radikal kurang tepat digunakan. Karena pada esensinya Islam diturunkan ke dunia sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Penulis berpandangan bahwa pemilihan istilah yang lebih tepat adalah Muslim radikal. Alasannya adalah karena penekanan kata radikal bukan pada Islam sebagai agama, melainkan pada Muslim sebagai individu maupun sebagai kelompok yang menjalankan ajaran Islam dengan berbagai perspektif dan cara. Perspektif dan cara yang berbeda-beda tersebutlah yang dalam dinamikanya dijalankan secara radikal hingga memicu munculnya suatu konflik sosial di masyarakat. Radikalisme sangat kontradiktif dengan proses masuknya Islam di Nusantara yang berinteraksi melalui cara-cara damai dan kreatif, bukan dengan kekerasan. Sebagaimana istilah Sunan Kalijaga dalam suluk lokajaya, “anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli” (menyesuaikan diri seperti aliran air, menghanyutkan diri tetapi tidak terbawa hanyut). Sehingga sangat disayangkan bahwa dewasa ini aktivitas radikalisme bahkan terorisme dilakukan dengan menjual nama Islam sebagai jubah pembenaran.

Dakwah Warung Kopi
Berpijak pada kondisi tersebut, kiranya perlu dilakukan rekayasa sosial mulai dari hal yang paling sederhana. Salah satu jalan sederhana namun dapat berdampak luas adalah menyebarkan paham Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui forum-forum informal seperti warung kopi. Mengapa dakwah warung kopi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia terutama pemudanya gemar nongkrong berjam-jam di warung kopi, dimana pembicaraan paling dominan di dalamnya tidak akan jauh dari isu politik, olahraga, dan agama. Sehingga warung kopi menjadi tempat yang sangat potensial untuk berdakwah. Lalu mengapa fokus pada pemuda? Karena berbagai kasus membuktikan bahwa penyebaran paham-paham radikal banyak menjadikan pemuda sebagai sasaran. Hal ini karena pemuda adalah manusia yang membutuhkan aktualisasi diri, memiliki energi berlebih, namun belum memiliki kematangan emosi sehingga masih mudah diombang-ambingkan.
Konsep dakwah warung kopi ini membuktikan bahwa dakwah tidak harus formal di atas mimbar, menggunakan gamis, surban, ataupun membawa tasbih kemana-mana. Namun dakwah juga bisa dilakukan dengan kaos oblong, jeans, atau pakaian casual namun tetap sopan lainnya untuk lebih membaur dengan generasi muda dan masyarakat umum. Forum informal seperti warung kopi dapat menjadi momentum santai untuk berdiskusi seputar agama dengan menjadikan pemikiran moderat sebagai platformnya. Dengan pendekatan dakwah yang lebih casual, santai, dan membaur maka pemikiran-pemikiran moderat yang anti radikalisme akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat khusunya para pemuda. Opini Medan, Bayu Mitra A. Kusuma, S.AP, M.AP, M.Pol.Sc

 

Penulis adalah Dosen Prodi MD dan Peneliti ISAIs Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

- Advertisement -

Berita Terkini