MTQ : Antara Syiar dan Bisnis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Roni, S.Th.I M.TH

Bangsa Indonesi adalah bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Alquran adalah kitab suci umat Islam yang sangat dihormati dan di sakralkan. Kecintaan terhadap kitab ini tidak diragukan lagi, sehingga setiap acara- cara keagamaan tidak akan lepas dari Alquran dan selalau di dahului dengan pembacaan Alquran.

Dalam beberapa tulisannya Dr. Ahsin Sakho Muhammad, seorang dewan hakim nasional yang sangat penulis hormati dan penulis pernah beberapa waktu menuntut ilmu bersama beliau. Beliau menjelaskan : Suasana ke Quranan yang kondusif inilah yang menyebabkan banyak kalangan berinisiatif untuk mengadakan MTQ pada tingkat nasional. Maka pada tahun 1968 diadakanlah MTQ tingkat nasioanl pertama dikota makasar. Melihat besarnya apresiasi masyarakat indonesia terhadap MTQ, maka pada tahun 1977 didirikan satu organisasi semi pemerintah yang menangani masalah per-MTQ an di indonesia yang bernama Lembaga Pengembangan Tilawah Alquran atau disingkat LPTQ.

Lembaga ini dinamakan semi pemerintah karena didirikan berdasarkan SK bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negri No. 19-th. 1977/151-1977. Melalui SK ini maka yang menjadi ketua LPTQ di satu provinsi adalah Sekretaris Daerah (sekda) dari provinsi yang bersangkutan, begitu juga pada tingkat kabupaten dan kota.

Dari banyaknya antusias masyarakat yang merasakan bahwa MTQ membawa dampak positif bagi perkembangan Alquran dikalangan umat Islam itu sendiri. Tetapi ada juga nilai- nilai yang dapat mencederai kesakralan Alquran tersebut. Umpamaya, berdasarkan tinjauan lapangan yang penulis lakukan bersama tim “pemerhati MTQ”, hampir di setiap MTQ dilaksanakam baik tingkat kecamatan, Kabupaten atau kota dan tingkat nasional, masih banyak ditemukan praktik- praktik yang dapat merusak citra MTQ itu sendiri.

Sebgai contoh, ada beberapa sesi negatif dalam penyelenggraan MTQ di indonesia khusunya. Antara lain adalah adanya penggunaan cara- cara yang bertentangan dengan etika Alquran itu sendiri, baik dalam penyelenggaraan, perhakiman (dewan hakim) mencakup kapasitas dewan hakim, kapabilitas dewan hakim, dan ke-Objektifpan para penilai dan juga etika dewan hakim, rekruitmen peserta, dan lain sebagainya.

Jika kita bicara etika yang bertentangan dengan nilai-nilai Alquran, setidaknya ada dua hal yang menarik dari hasil pengamatan untuk penulis kemukakan dalam tulisan ini. Pertama: Skil (kapabilitas), seorang dewan hakim, semestinya haruslah dari kalanagn para mantan peserta yang berprestasi dibidang atau cabang yang dikuasai. Sangat tidak sesuai apabila dewan hakim tersebut bukanlah orang yang paham tentang hal itu.
Dengan harapan yang nantinya akan menilai para peserta yang akan tambil untuk menunjukan kemampuan didepan para juri, dewan hakim tersebut sudah mengeri kemampuan peseta secara psikologi. sederhananya, bagaimana mungkin seorang dewan hakim mampu menilai kempauan peserta jika “dia” bukalnlah seorang yang pernah berkecimpung atau pernah merasakan menjadi peserta yang juga pernah mengikuti musabaqoh di cabang yang dikuasai.

Apa lagi dewan hakim yang turut diikut sertakan oleh LPTQ bukan karena kemampuannya atau Skil dalam menilai, tetapi kemampuanya dalam melobi orang- orang tertentu sehingga bisa mendapat kursi untuk menjadi dewan hakim. Bisa karena saudara, kerabat karib, atau karena faktor koneksi. Nah ini mengisyaratkan bahwa adanya praktik nepotisme ditingkat para dewan hakim yang nantinya dilantik dan disumpah dengan alquran, bagaimana bisa menilai dengan objektif, jika terpilihnya saja sudah dengan cara dan prosedur yang tidak tepat . Ini yang penulis khawatirkan hilanganya nilai- nilai Syiar yang ditawarkan Alquran tersebut.

Kedua: Rekruitmen Peserta, dalam musabaqoh pesertalah inti dari kegiatan tersebut, andai tidak ada peserrta akan jadi apakah even yang mengunkan anggaran negara tersebut.
Setidaknya ada beberapa kebijakn yang dilakukan oleh kabupaten atau kota pelaksana MTQ dalam meningkatkan kualitas SDM dari daerah bersangkutan. Yang paling menraik adalah bibolehknya peserta yang bukan berasal dari daerah tersebut.

Sebenarnya Ini dapat menguragi jam terbang dari peserta yang masih minim penampilan, dan hampir rata- rata peserta yang berasal dari daerah terteentu masih minim pemgalaman, sehimgga tak mampu bersaing dengan peserta- peserta impor (cabutan).
Inilah salah satu pemandagan yang menjadi sorotan penulis untuk dibenahi oleh pihak bersangkutan, khusunya LPTQ selaku lembaga resmi semi pemerintah yang menangi maslah ini.
Sehingga kedepan MTQ ini bukan lagi hanya bisa dinikmati sebagian orang saja, tapi MTQ mampu dinikmati semua elemen masyarakat, sehingga rasa apatis yang timbul dikarenakan kualitas diri yang tak mempuni dapat di rubah menjadi prestasi yang gemilang demi tersyiarnya Alquran dibumi pertiwi ini.

Baik sistem rekruitmen para dewan hakim maupun peserta. Agar stigma yang timbul dimasyarata sekarang yang mengatakan bahwa MTQ hanyalah ladanag bisnis bagi para elit- elit LPTQ dapat di minimalisir atau bahkan dihapus. Sehingga target dalam penyelenggaraan MTQ di indonesia ini untuk mengamalkan dalam kehidupan sehari- hari dalam ruang lingkup pribadi maupun msyarakat dapat terlaksana.

Lalu apa yang menggerakkan penulis utuk selalu kritis di bidang MTQ sampai saat ini? Karena cinta…
Setidaknya itu kalimat yang penulis ingat dari zen zainal. Karena hampir tak ada alasan lain bagi penulis untuk bertahan memperjuangkan nasib para pecinta MTQ selain terlanjur cinta, mungkin.

Dan penulis kira, itulah yang membuat penulis masih mau menggerakkan jari- jari, mengarungi belantara kata- kata, baris demi baris, tanda baca dan titik koma demi membuat komentar tentang perbaikan MTQ dimasa akan datang. Terkesan alturistik dan “sok” kritis emang. Tapi saya kira tak ada alasan lain yang bisa membuat saya terus berjunag demi perbaikan MTQ.

Kalau saya memakai logika yang jernih dan menerapkan hasil penalaran itu dalam sikap saya, maka seharusnya saya tak lagi peduli dengan yang namaya MTQ. Hampir tak ada alasan logis untuk saya bertahan memperjuanagkan perbaikan MTQ. Tapi masih ada alasan, meski bukan rasional: Cinta. Cinta itu bukan bagian dari rasio. Cinta itu bagian bagian non-rasional dalam fakultas manusia. Cintalah yang membuat para tentara jepang melaukan harakiri. Cinta jugalah yang membuat orang bangga berkata: right or wrong it’s my country. Bahkan cintalah yang membuat realitas menjelma.

Meski menurut chairil anwar hidup adalah keterpisahan. Cinta yang membuat kita tidak sendiri, meski menurut dia hidup adalah kesunyian nasib masing-masing. Dan sesungguhnya cinta penulis untuk MTQ ini adalah cinta “memberi” . karena itu pulalah orang bijak berkata: jangan kau tanya apa yang telah kau dapatkan dari bangsamu, tapi bertanyalah apa yang telah kau berikan buat bangsamu.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah,,,

Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati MTQ

- Advertisement -

Berita Terkini