Protes

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Gellok dan Sordak dalam waktu hampir bersamaan mengirim inbox kepada saya. Isinya sama-sama pertanyaan:

“Mengapa Anda sebut Raja Salman itu Siregar. Sebelumnya Anda pernah juga menuliskan Mohammad Ali Siregar,  dan tokoh-tokoh besar lainnya sebagai bermarga Siregar”.

Saya menjawab sederhana:

(-) Siregar itu memang marga saya. Saya suka makin banyak saudara saya semarga, apalagi orang-orang penting seperti Hillary Clinton boru Regar, dan lain-lain.

(-) Anda berdua harap memahami saya yang mulai merasa cemas atas situasi keterdesakan sosial, ekonomi dan politik yang satu saat nanti marga itu dianggap aneh.

(-) Lae Gellok dan Sordak. Singapura itu Melayu, tetapi sekarang sudah habislah cerita Melayu di sana. Apa yang mereka lakukan dalam penggeseran posisi normatif pribumi di sana ialah dengan taktik merit-system.

(-) Merit-system itu untuk tingkat tertentu sangat baik. Sangat bagus. Tetapi bayangkanlah penduduk Indonesia yang terbelakang dalam segala hal disuruh berlaga prestasi dengan pelaku bisnis internasional bermodal raksasa. Atas nama merit-syatem habis penduduk kita ini dilibas dan akhirnya akan menjadi budak di negeri sendiri.

(-) Negara dan pemerintahan  kita berdasarkan konstitusi wajib hadir untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Dengan begitu kepemihakan wajib hadir. Bahkan positif discrimination itu menjadi keniscayaan. Lihatlah Perdana Mebteri Juanda pernah melakukan kebijakan affirmative action dalam bidang ekonomi dalam bentuk “ekonomi benteng”. Tujuannya mempromosikan kemampuan pribumi dalam dunia usaha agar tak menjadi bulan-bulanan non pribumi yang diwariskan oleh sistem kolonial ratusan tahun.

Dalam politik era baru pengarusutamaan isyu gender dalam politik Indonesia mengalokasikan jatah 30 % untuk perempuan. Ini hak normatif.

(-) Tentu saja ini semua selaras dengan kebhinnekaan kita. Saya suka orang Jawa mencintai kejawaannya, begitu juga yang lain.

Dalam Al-quran disebut:

Ya ayyuhannas. Inna khalaqnaakum minzdakarin wa untsa, wa ja’alnaakum tsu’uban wa qaba’ila lita’arafuu. Inna akramun ‘indallahi atsqaakum“.

Ernesto TM (Italia) pernah mengajukan konsep demikian:

Unity in diversity is a concept of ‘unity without uniformity and diversity without fragmentation’ that shifts focus from unity based on a mere tolerance of physical, cultural, linguistic, social, religious, political, ideological and/or psychological differences towards a more complex unity based on an understanding …[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini