Aksi Bela Islam dan Revolusi Kultural

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Harmaini El Harmawan

MUDANews.com – Fenomena bangsa saat ini cenderung menggelikan —untuk tidak mengatakan— sedikit “menggelitik.” Banyak yang cemas, galau, dan khawatir akan keadaan terkini bangsa ini. Media sosial (medsos) dinilai “berhasil” menjadi media massif yang membangunkan kesadaran kolektif anak bangsa untuk terlibat dalam ragam wacana keummatan, kebangsaan, pembangunan, pemberdayaan, pengawasan, dan lain-lain.

Tidak hanya itu, banyak lahir popularitas baru karena kreasi, inovasi, dan manuver-manuver yang meluncur deras karena viral. Tak ayal, berita bohong pun turut meramaikan arena dan dinamika sosial. Sekali lagi; menggelikan, menggelitik, dan akhirnya mengkhawatirkan.

Dengan medsos, anak bangsa mampu menghidupkan kesadaran rakyat secara kolektif. Betapa tidak, aksi damai terbesar, teraman, terbersih, tertata, dan terpopuler sepanjang sejarah bangsa Indonesia dan bahkan dunia, terjadi sebagai ‘episode khusus’ dari gumpalan bola salju gerakan yang mengatasnamakan keummatan itu sesungguhnya karena efek turbo seruan via media sosial.

Tidak peduli dengan kritikan bahwa bola salju itu bermotifkan ‘pilkada rasa pilpres’ sebab melibatkan anak-anak bangsa luar Jakarta yang memang, sedang pada gilirannya akan berpesta; pesta demokrasi lokal yang akan dapat diberi predikat: Pilgub Terdahsyat Sepanjang Sejarah. Wow, sama-sama kita tunggu.

Secara nasional, gumpalan bola salju gerakan keummatan di atas menyebabkan banyak mata yang tiba pada sebuah kondisi, bahwa nasionalisme anak negeri sedang dibenturkan dengan raksasa tidur keummatan (baca: religius), yang selama ini memang selalu didudukkan untuk disatupadukan; nasionalisme religius. Efek dominonya cenderung memunculkan suasana bahwa nasionalisme religius sedang tergerus.

Bahkan, diskusi keummatan dan kebangsaan ‘Meja Batu’ di Pematangsiantar, sudah sampai pada sebuah analisis, jika dulu pada 1965, komunisme dibenturkan dengan agama/religius, dan seolah-olah itu dilakukan oleh para pendekar nasionalisme, maka hari ini, yang saling berhadapan dan sengaja dibenturkan adalah antara nasionalisme dan agama. Kalau dulu, bentuknya jelas, yakni komunisme berjubahkan PKI, sementara saat ini, dilakukan oleh ‘the invisible hand’ (tangan yang tak terlihat). Banyak yang mengarahkan pandangannya pada PKI, namun bagaimana membuktikannya? maka sasaran lainnya adalah kapitalisme dan liberalisme. Inilah yang dituduhkan sebagai bentuk baru dari neo kolonialisme global.

Cukup disayangkan, manuver pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, tidak sebanding dengan spirit mengajak anak negeri ini untuk secara berkesinambungan dalam membumikan spirit revolusi mentalitas anak bangsa, yang memang sudah digaungkan sedari awal. Bahkan kemenkokesra sudah menjalankan Program Nasional Revolusi Mental. Sayang seribu kali sayang, sistem pemerintah kurang berjalan.

Medsos justru mampu digerakkan oleh organisasi-organisasi masyarakat untuk menghidupkan gerakan-gerakan semisal Aksi Bela Islam. Gerakan dahsyat yang semakin faktual dan akan terus aktual. Betapa tidak, coba perhatikan ‘rutinitas peradilan situasi dengan kasus penistaan agama’. Inilah kasus yang telah berhasil menjadi tontonan massal anak negeri. Tontonan yang semakin menggerus dan menjauhkan hubungan nasionalisme dan religius di negeri ini.

Pemerintah negeri ini luput dari hal ini, di tengah superioritas dan kewenangan tingkat tinggi yang dimilikinya. Sungguh Revolusi Mental sudah ditinggalkan jauh oleh Revolusi Kultural. Sebuah gerakan dahsyat yang akan tetap aktual dan faktual, hingga saatnya negeri ini mampu kembali stabil. Kapan? Indikatornya, tanya saja anak negeri. Masih terasa geli dengan kondisi terkini, terasa menggelitik, atau bahkan semakin khawatir? Sepanjang jawabannya positif, maka kita akan semakin jauh meninggalkan stabilitas negeri yang dicitakan.

Penulis adalah Penasihat MP ICMI Muda Sumut dan Dosen STAI UISU Pematang Siantar

- Advertisement -

Berita Terkini