Kaum Muda Jangan Ambisius Berpolitik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Retorika, menuliskan berbagai karakter kaum muda yang melekat. Salah satunya adalah keinginan keras kaum muda untuk mendapatkan sesuatu atau mencapai sesuatu. Nah, di sini tidaklah ada permasalahan. Setiap kita memang berhak untuk mempunyai keinginan yang keras akan sesuatu hal yang ingin didapatkan atau dicapai. Akan tetapi, kata Aristoteles, keinginan keras kaum muda sering tidak memiliki pijakan yang kuat, ibarat orang sakit diserang kelaparan dan kehausan.

Kemauan keras atau keinginan yang menggebu-gebu untuk mendapat sesuatu hal, sering disebut ambisius, memang tidaklah bernilai negatif. Akan tetapi, keinginan yang mengebu-gebu ini akan menjadi suatu permasalahan apabila tidak ada persiapan yang cukup, pelatihan, konsep atau pun perencanaan tahap demi tahap menuju keinginan.

Kita tidak memungkiri bahwa, kaum muda juga menjadi aset terbaik suatu bangsa dalam pengertian pengelolaan sumber daya manusia. Para tokoh-tokoh pergerakan, tidak sedikit menobatkan bahwa perubahan akan sesuatu dapat dilaksanakan oleh pemuda. Makanya tidak sedikit kita temukan kaum muda mempelopori suatu gerakan, baik itu gerakan sosial-budaya maupun sosial-politik dan lainnya. Yang kita katakan ini pun telah lulus dari ujian hitoris. Tidaklah perlu kita ceritakan sejarah gerakan kaum muda dari masa ke masa dalam tulisan ini. Bagi kita yang melek literasi sejarah perjuangan bangsa dan sejarah kaum muda secara umum (internasional) pasti telah membacanya.

Apa-apa yang kita bicarakan terkait secara umum gerakan pemuda di atas tadi bukan berarti tanpa catatan. Sedikit kita tilik ke dalam sejarah pergerakan kaum muda Indonesia, tentunya nama Soekarno, Alimin, Semaun, Kortosuwiryo, Tan Malaka, Sjahrir, Natsir, Soe Hok Gie, Lafran Pane, dan sederet nama tokoh pemuda lainnya yang sudah wafat maupun yang masih hidup tidak lagi asing ditelinga kita, pastinya juga di antara nama-nama yang disebutkan tadi ada yang menjadikannya panutan kaum muda Indonesia saat ini.

Catatan yang kita maksudkan yaitu ketika mereka terjun dalam suatu gerakan sosial-budaya atau sosial-politik dan bidang aspek lainnya, mereka terlebih dahulu telah mematangkan diri (bersifat relatif). Contoh yang paling konkritnya adalah wawasan atau ilmu pengetahuan akan apa yang hendak mereka geluti telah mereka pelajari. Istilah dalam organisasinya, kita sering menyebut dikader, ditempah, atau bahasa pewayangannya dicandradimuka.

Nah, hal ini (Candradimuka) sangat penting sekali sebelum terjun ke lapangan (istilah aktivis saat ini). Seorang pemuda yang ingin terjun ke dunia nyata, apakah itu dalam sosbud, sospol, dan aspek lainnya, ia harus pernah digembleng atau kader untuk pegembangan diri pribadi agar menjadi orang yang memiliki karakter (etos) yang kuat, terlatih dan tangkas. Ibaratkan saja, seorang pendekar tidak akan mungkin turun bertarung sebelum memiliki kemampun bela diri yang mumpuni. Ibaratkan saja juga, seorang pesepak bola tidak akan mungkin dimainkan jika tidak pernah latihan bola. Dan hal-hal yang berkaitan lainnya.

Serta tidak kalah penting, selain pembangunan etos pada kaum muda, pembangunan akan ideologi harus kuat tertanam pada diri pemuda. Ideologi ini menjadi landasan gerak atau landasan pikir bagi kaum muda dalam berjuang. Bagaimana dan seperti apa ideologi yang terbentuk dalam pelatihan (Candradimuka) tadi, maka tidak jauh pula lah karakter seseorang tersebut. Dadang Darmawan Pasaribu, dalam bukunya Kita Telah Mati – yang telah penulis resensi, mengatakan bahwa dengan tidak adanya ideologi (ideologi yang positif), nilai-nilai kemanusiaan pada diri seseorang, itu artinya seseorang tersebut telah mati. Meminjam bahasa Dadang Darmawan Pasaribu, jika seseorang tersebut berpolitik, maka berpolitiknya tanpa nilai.

Dari pembicaraan kita tadi, tentu dengan mudah dapat dipahami apa yang menjadi maksud tulisan ini. Tidak salah memang jika kaum muda terjun atau ikut berkontribusi dalam perhelatan politik praktis, tapi harus terlebih dahulu membaca diri apakah sudah layak atau tidak. Berpolitik (makusdnya politik praktis) bukanlah mencari sensansi atau ajang mencari popularitas diri (ekstensi), sebagaimana yang kita lihat pada saat ini di negara kita. Apa-apa yang kita lihat dalam kondisi perpolitikan saat ini, akan tetapi tidak semuanya, adalah penyimpangan dalam berpolitik. Perpolitikan di negeri ini ibarat seperti monyet-monyet yang sedang memanjat batang pisang yang pisangnya sudah menguning. Tapi monyet-monyet tersebut saling tarik menarik dari bawah. Sehingga rumput-rumput yang dibawah jadi rusak.

Sedikit bicara politik di era milenial, sepertinya ada bius atau sesuatu zat yang membuat kaum muda – yang katanya kaum milenial, mabuk oleh dunia politik. Mabuk disini kita ibarat yang menikmati kemabukan itu dan ada pula yang tidak tahu harus berbuat apalagi. Bahkan ada juga yang menjadi alergi akan zat atau bius itu.

Kaum muda dideret-derat dalam dunia politik, karena memang saat ini kaum muda secara populasi di Indonesia sangat meningkat. Hal itu wajar saja karena sistem demokrasi dalam pengertian pemilihan umum yang satu kepala satu suaru. Berdasarkan data, lebih setengah dari jumlah penduduk Indonesia itu adalah kaum muda, biasa kita dengar bonus demografis; dimana usia produktif (muda) lebih banyak dari usia tidak produktif (tua). Sehingga dalam hal ini sering dimanfaatkan dalam dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek ekonomi. Sedangkan aspek kebudayaan dan keagamaan masih terseok-seok mencari formula yang tepat untuk menarik minat kaum muda.

Tulisan ini tanpa kesimpulan, memang disengaja agar perbincangan terkait kaum muda dalam dunia politik semakin “kaya”. Wacana-wacana ini harus terus dihidupkan mengingat ini merupakan perkembangan sejarah atau rentetan sejarah dari sejarah kaum muda Indonesia dahulu. Jika kaum muda kita dahulu berjuang melawan penjajah secara pemikiran dan fisik, sekarang kita tetap mengalaminya walau unsur penjajahan secara fisik tidak ada lagi.

Tapi, tulisan ini bukan berarti tanpa penutup. Dan perlu diingat penutup ini pun bukan menutup suatu ruang yang tak dapat dimasuk lagi. Penutup ini hanya batasan pembicaraan kita kali ini. Untuk itu, penulis tutup bahwa kaum muda jangan ambius berpolitik tanpa pijakan atau ideologi perjuangan, serta orientasi yang jelas. Sekali lagi perlu kita tekankan, berpolitik bukan ajang cari sensasi atau popularitas. Menaikkan nama lewat media sosial sah-sah saja asal bermanfaat bagi oranglain dan bagi kita.

Penutup (pembatas) terakhir, mari kita renungkan kata-kata ini: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka).[]

*Penulis Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Kota Medan).

- Advertisement -

Berita Terkini