Mencari Mutiara Hitam Yang Hilang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

MENCARI MUTIARA HITAM YANG HILANG
(MEMAKNAI ULANG PRAKTIK BERDEMOKRASI DI INDONESIA)

PENDAHULUAN

Kepemimpinan memiliki hubungan yang amat erat dengan keberlangsungan kehidupan manusia, bahkan dunia dan alam semesta (Veithzal Rivai, 2009: 142-143). Kemajuan suatu Negara sangat ditentukan oleh kualitas Pemimpinnya seterusnya kualitas Pemimpin sangat tergantung kepada sistem yang digunakan dalam pengangkatan atau pemilihan Pemimpin. Kualitas system pemilihan Pemimpin tentu dirumuskan berdasarkan kebutuhan suatu Bangsa dibangun di atas nilai-nilai yang diyakini benar dan dianut oleh Bangsa tersebut. Dalam perjalanannya, komitmen suatu Bangsa atas nilai yang ditetapkan untuk dipatuhi tentu menjadi persoalan tersendiri. Penganut sistem demokrasi misalnya, kemudian berprilaku seolah anti demokrasi selanjutnya melakukan praktik demokrasi secara munafik pasti akan memberi dampak pada capaian demokrasi tersebut.

Mari kita lihat bagaimana Allah SWT dalam posisinya sebagai sesembahan (divine object), sebenarnya sedang memerankan fungsi kepemimpinan terhadap manusia dan alam jagat raya seterusnya menjadi contoh terbaik dalam Kepemimpinan. Dalam posisinya sebagai pemimpin, maka secara keseluruhan as-Sifât dan Asmâ Allah SWT, dapat dimaknai sebagai perwujudan dari karakter dan perilaku kepemimpinan seperti “al-Khaliq” bermakna Pencipta ata Penginisiasi, “al-Rabb” bermakna Pengendali atau Pengatur, “al-Hâdý” sebagai Penuntun dan Pemberi Arahan, “al-`Adlu wa al-Hakamu” sebagai Pengambil Keputusan yang Adil dan Bijaksana, “al-Rahmâ wa al-Rahîm” sebagai Penyantun, Peka, Pemberi Kasih Sayang dan demikian seterusnya (John Adair, 2010: 57-59).

Konsisten dengan hal tersebut, maka Allah SWT mewajibkan diri-Nya untuk mengangkat wakil-Nya dalam memimpin alam semesta yang diinformasikan al-Qur`an lewat idiom “Khalîfah” (Q.S. al-Baqarah:30) yang secara bahasa berarti pengganti peran atau mewakili yang seterusnya dipahami sebagai bermakna “Pemimpin”. Al-Qur`an telah memberikan sebuah ilustrasi, ketika Allah SWT memutuskan mengangkat atau menjadikan manusia sebagai wakil-Nya di bumi, terlebih dahulu dilakukan transformasi dan internalisasi sifat-sifat kepemimpinan ke dalam diri manusia. Al-Qur`an menginformasikan peristiwa tersebut dengan menggunakan kalimat “wa `allama âdama al-asmâ`a kullahâ” (Q.S. al-Baqarah:31) yang oleh sebagain penafsir dipahami sebagai transformasi nama-nama, prinsip-prinsip dan hukum-hukum alam jagat raya (sunnatullâh) ke dalam jiwa manusia (Gabriel Sawma, 2006: 134-135).

Tetapi menurut penulis lebih dari itu, informasi ini dapat pula bermakna bahwa Allah SWT mempersiapkan wakil-Nya (al-Khalîfah) dengan mentransformasikan “asmâ” nama-nama Allah ke dalam jiwa manusia, sehingga keberadaan manusia merupakan pengejawantahan dari sifat-sifat Allah di alam semesta dalam bahasa dan wajah yang dapat berterima.

Berdasarkan alur fikir ini, maka “Khalifatu Allâh fi al-Ardh” yang sesungguhnya adalah terintegrasinya dalam diri manusia sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan pemahaman atas sifat-sifat, karakteristik dan hakikat alam jagat raya sebagai objek yang akan dipimpinya. Pemimpin dalam kategori ini tentu saja, dapat mewujudkan visi dan misi Allah atas alam semesta karena dalam dirinya bertemu dua pengetahuan yakni: Pertama, pengetahuan tentang sifat dan asma Allah SWT sebagai Pencipta dan pemberi tujuan penciptaan dan, Kedua, pengetahuan tentang sifat dan hakikat alam semesta sebagai yang akan diarahkan.

Jika alur pemikiran ini dapat diterima, sesungguhnya kepemimpinan di muka bumi atau di alam ini hanya dapat terwujud selama ada para Nabi dan para Filsuf. Dalam bahasa yang lebih politis, kepemimpinan sejati akan terwujud ketika pemimpin yang diangkat adalah seorang Nabi, Rasul atau Filsuf, dan tanpa itu, kepemimpinan hanya akan menjadi semu kalau bukannya dapat menyimpang dari seharusnya. Sehingga yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah ada kepemimpinan yang sejati setelah kenabian dan setelah era dimana Filsuf mendapat kepercayaan untuk memimpin.

KONSEP DAN SKEMA KEPEMIMPINAN

Posisi seorang “Pemimpin” dalam kepemimpinan menjadi sangat sentral, bahkan tanpa Pemimpin tidak akan ada yang disebut sebagai kepemimpinan. Dalam konteks, Ilmu Manajemen, kepemimpinan dapat dipahami sebagai metode, strategi atau bahkan seni mengelola potensi yang dipimpin agar dapat berfungsi secara maksimal dalam upaya pencapaian tujuan (John Thompson & Frank Martin, 2005: 439-440). Adapun “Pemimpin” sendiri bermakna seseorang karena kecakapan dan kualitasnya mendapat kepercayaan untuk memotivasi, mengatur dan mengarahkan yang lainnya agar dapat berperan secara tepat dan optimal dalam rangka pencapaian tujuan yang dinginkan.

Secara Teologis, yang menunjuk seorang “Pemimpin” adalah Allah SWT, sebab dalam salah satu hukum berfikir logika ditegaskan, bahwa sesuatu hanya bisa difahami secara sempurna oleh sesuatu yang lain jika yang memahami dipandang lebih tinggi atau lebih sempurna daripada yang dipahami. Sehingga yang dapat memahami apakah seseorang layak dijadikan Pemimpin atau tidak hanya oleh Allah SWT inilah yang biasa disebut kepemimpina “ilahiyât”.

Dalam konteks ini, yang disebut sebagai Pemimpin hanya mereka yang diangkat Allah sebagai Pemimpin yakni para Nabi dan Rasul. Secara Sosiologis, seorang pemimpin dapat diangkat atau dipilih oleh yang setara dengan system tertentu. Dalam sistem Kerjaan misalnya seorang Raja yang menjadi Pemimpin dapat diangkat atau ditunjuk oleh Raja sebelumnya.

Sementara dalam system demokrasi, seorang Pemimpin dapat diangkat melalui pemilihan atau musyawarah. Tentu saja, kepemimpinan yang diangkat lewat cara ini akan memiliki kualitas lebih rendah jika dibandingkan dengan Pemimpin yang diangkat oleh Allah SWT. Meskipun keyakinan semcam ini masih menjadi diskursus terutama dikalangan Rasionalis.

Lahirnya cara berfikir yang membenarkan pengangkatan setara, karena faktanya Kenabian telah berakhir, begitupun para Filsuf. Andai pun ditemukan adanya seorang Filsuf pada suatu wilayah, namun sistem yang dapat menjadikan Filsuf sebagai Pemimpin sudah sulit ditemukan.

Agar tidak terjebak, pada kekakuan logika tersebut, maka Konsep Pemimpin mesti dapat diperluas. Merujuk kepada, teori bahwa Allah SWT telah mengejawantahkan sifat dan asma-Nya kepada “Khalîfah”, seterusnya dibekali dengan pemahaman akan sistem alam semesta yang membuatnya layak menempati posisi sebagai wakil Allah di Bumi. Maka dalam tafsir yang lebih luas, hal ini dapat dipahami sebagai simbol sekaligus simulasi.

Artinya, bahwa setiap orang sebenarnya dapat menempati posisi “Khalîfah” jika padanya terdapat “Pengejawantahan “asmâullah”, adapaun keberadaan Nabi dan Rasul yang telah mengemban tugas kekhalifaan hanyalah sebatas simulasi, teladan, uswah, bagimana ‘kekhalifaan’ atau kepemimpinan tersebut dijalankan. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa dari “asmâullah” dapat direduksi nilai-nilai yang genuine dan sacral, dan ketika nilai ini ditranformasikan ke dalam diri seorang manusia tanpa pembatasan apakah ia seorang “Nabi, Rasul, Wali dan Filsuf”, maka ia dapat menempati predikat “khalîfatullah”. Adapun nilai-nilai tersebut biasanya dikenal dengan Nilai-nilai Universal Kemanusiaan dan Nilai-nilai Luhur Sosial Kemasyarakatan.

Nilai-nilai Universal kemanusiaan setidaknya meliputi: Kebenaran, Keadilan, Kasih Sayang, Kesetaraan, Kehormatan, Martabat, Kemerdekaan, Perdamiana dan Kebijaksanaan. Sedangkan, nilai-nilai luhur sosial kemasyarakatan meliputi: Kejujuran, Keikhlasan, Kepedulian, Kebaikan, Kebijaksanaan, Keluesan. Nilai-nilai inilah sesungguhnya yang dapat direduksi dari “asmâullah” untuk kemudian dijadikan karakteristik “Pemimpin”. Sehingga, kepemimpinan sendiri adalah upaya pemeliharaan atau pelestarian nilai-nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam pengaturan alam semesta.

Nilai-nilai ini semestinya bersemayam dalam jiwa para pemimpin seterusnya termanifestasi dalam cara befirkir, bertutur kata, berperilaku hingga saat memutuskan sebagaimana yang dipentaskan para Nabi dan Filsuf. Hingga kemudian, ketika nilai-nilai ini sudah tidak ditemukan lagi bersemayam pada diri manusia, maka ia kembali dilepaskan yang seterusnya disusun dalam bentuk teori-teori, atauran-aturan hukum yang harus dipedomani oleh siapapun yang dipercaya untuk memimpin. Dalam konteks ini, nilai-nilai kepemimpinan sudah terpisah dari yang menduduki posisi Pemimpin, sehingga yang diharapkan dari seorang pemimpin hanyalah komitmennya untuk dapat mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan sebagai instrument terpeliharanya pengejawantahan nilai-nilai dalam kehidupan.

Kualitas kepemimpinan dalam kategori ini amat rapuh, karena ketergantungan yang terlalu kuat terhadap komitmen sesorang bukan pada kualitas subjektif pemnagku kepemimpinan. Kepempinan dalam martabat ini sangat rentan terhadap penyimpangan, penyelewengan bahkan kesesatan.

TANTANGAN DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN DI INDONESIA

Untuk menyebut bahwa Indonesia, sedang mengalami krisis Kepemimpinan atau krisis Pemimpin, tentu dipandang kurang berlasan. Sebab, kita masih sangat yakin bahwa, masih terdapat banyak manusia Indonesia yang dalam dirinya terejawantah sifat-sifat kepemimpinan sejati. Disamping itu, kita telah memiliki tata aturan yang lengkap dan sempurna mengatur berjalannya kepemimpinan baik secara filosofis, etik maupun teknis, bahkan jika dipimpin oleh yang bukan buka Filsuf, selama memiliki komitmen pada aturan maka berjalanlah kepemimpinan.

Memang, sejumlah fakta yang cukup pahit telah dialami, dimana para Pemimpin di Negera ini telah memperontonkan pengingkaran atas nilai-nilai luhur yang tentu saja telah melahirkan rasa pesimis, apatis di kalangan masyarakat kita. Tetapi, tidak berarti bahwa kita telah kehilangan manusia-manusia baik yang dapat mengawal pelestarian nilai-nilai universal dalam kehidupan.

George Soraya (World Bank), pernah mengemukankan kepada saya suatu teori optimistis tentang kepemimpinan sebagai berikut. Menurutnya, dari setiap 1000 orang di masyarakat kita, mestilah ada 1 orang yang masih murni. Kata “murni” bermakna, masih dapat menerima pengejawantahan nilai-nilai universal dari Allah SWT. Mereka ini oleh George Soraya disebut sebagai “Mutiara Hitam” — salah satu jenis mutiara yang sebenarnya memiliki harga tinggi namun kurang berkilau. Disebut demikian, karena pada umumnya mereka ini cenderung pemalu, tidak terlalu mau menonjolkan diri dan biasanya tampil dalam postru yang penuh dengan kesederhanaan.

Namun, pada mereka ini ada kekuatan tersembunyi, yakni komitmennya yang kuat atas nilai-nilai universal dan kemampuannya untuk memberikan pengaruh terhadap sekitarnya. Jika mereka ini dapat ditemukan, maka jadilah ia modal social (social capital) yang dapat memberi daya rekat, daya dorong dan daya creator di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, sebenarnya, teori dan praktik demokrasi mesti didesain sebagai instrument untuk menemukan orang-orang ini di tengah-tengah masyarakat. Manakala mereka ini dapat ditemukan dan dihubungkan dalam bentuk teamwork atau kemitraan (patnership) jadilah modal social ini menjadi kekuatan social yang dapat mendorong terjadinya pembaharuan.

Mengharpakan teori dan praktik demookrasi kita dapat terkontruksi untuk fungsi ini, tampaknya terlalu naïf dan terlalu imajiner. Karena itu, perlu dilakukan upaya yang sederhana, namun realistis untuk dapat menemukan kembali mutiara-mutiara pengemban titah “khilâfah” dimaksud. Adapun cara paling epektif untuk melakukan hal tersebut dalam konteks Indonesia saat ini adalah dengan metode penyadaran kritis.

Penyadaran kritis yang dimaksudkan, dalam konteks ini, mendorong masyarakat untuk dapat menyadari betapa eratnya hubungan antara kualitas pemimpin dengan nasib mereka. Betapa eratnya hubungan kualitas pemimpin yang dipilih dengan pembangunan yang akan mereka rasakan, dengan nasib generasi dan akan-anak mereka. Pembelajaran kritis ini mesti dapat dilakukan hingga menyentuh kesadaran terdalam pada diri manusia yang padanya terdapat kecenderungan kuat untuk mencari seorang pemimpin.

Upaya menumbuhkan kesadaran kritis ini dapat dilakukan melalui refleksi atau Focus Group Discussion (FGD) yang melaluinya masyarakat dapat didorong untuk mengetahui dan menyadari secara mendalam terhadap permasalahan social, ekonomi dan politik yang dihadapinya. Pemahamannya terhadap permasalahan yang dihadapinya mesti menukik dan mendalam (radic) hingga ia menemukan bahwa akar dari semua permasalahan hidupnya bersumber dari kepemimpinan yang buruk. Seterusnya, kepemimpinan yang buruk disebabkan oleh para Pemimpin yang buruk yakni tidak memiliki dalam dirinya nilai-nilai universal kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Melalui, metode pembelajaran kritis tersebut dapat ditemukan, bahwa akar dari setiap permasalahan adalah krisis nilai pada pemimpin, sehingga jalan keluar atas setiap permasalhan tersebut adalah upaya pemulihan atau penemuan kembali nilai-nilai universal yang hilang tersebut. Penemuan kembali nilai tersebut, dapat bermakna pencarian calon pemimpin yang memiliki kriteria penampung nilai-nilai universal kemanusiaan dan kemasyarakat atau yang disebut sebagai “Mutiara Hitam—Black Daimond”. Jika kesadaran ini dapat dibangun, maka masyarakat akan hadir kembali dalam bentuknya yang sejati anti sogok, hoaxs, anti fitnah dan anti money politik.

PENUTUP

Praktik politik yang cenderung materialistic sesungguhnya menjadi tantangan tersendri bagi kita. Ada yang menanggapinya secara apatis dan pesimis dengan mengatakan bahwa “Kepemimpinan Masa Depan Hanya Bagi Mereka yang Memiliki Uang” tanpa pernah menyadari bahwa lewat ungkapan ini kita telah menobatkan berkuasanya Kapitalisme dan Status Quo atas tradisi politik kita yang sesungguhnya menjadi musuh kita.

Bagi kita, Mahasiswa, Sarjana, Santri, Akademisi tentu, cara berfikir ini mesti dihindari. Kita mesti memiliki keyakinan yang kuat bahwa Bangsa ini masih memiliki modal sosial yang mampu mengembalikan perilaku politik kepada yang semestinya dibangun di atas nilai-nilai luhur, demokrasi dan kearifan lokal.

Dalam konteks inilah, kita perlu mengambil peran, setidaknya mengembangkan literacy tanpa henti untuk membangunkan pikiran kritis masyarakat akan kebutuhannya terhadap Pemimpin yang baik, seterusnya sistem dan budaya politik yang baik sebagai wadah penemuan kembali para Pemimpin pengemban titah Tuhan terkhusus dalam rangka menghadapi PEMIlU Tahun 2019. Wa Allahu `A`lam.

Oleh Dr. Ridho Syahputra Manurung, M. Hum & Salahuddin Harahap, MA (Ketua & Sekretaris Forum Santri Nasional Sumatera Utara)

- Advertisement -

Berita Terkini