Buku Putih Sikap Politik Prabowo Pasca Pemilu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Setelah menahan diri lebih seminggu saya fikir penting juga untuk bicara soal sikap politik Prabowo Pasca Pilpres 2019 yang cukup menghebohkan ini. Suasana sudah mulai tenang dan banyak pihak sudah bicara. Sekarang giliran saya menyampaikan apa yang saya lihat, dengar dan ketahui sendiri secara langsung peristiwa demi peristiwa penting menjelang dan setelah terjadinya pertemuan Prabowo dan Jokowi di MRT tersebut.

Sejak terjun ke dunia politik, Prabowo nyaris tak pernah lepas dari hantaman fitnah, intrik, penyusupan dan penghiatan. Begitu juga yang saya lihat terjadi sejak rangkaian proses Pilpres dimulai September 2018, seperti ada gerakan yang terstruktur, sistematis dan massif di kubu sendiri yang tak menginginkan Prabowo memenangkan Pilpres.

Pertama, sejak awal Pilpres tidak pernah ada konsep yang jelas soal pengawalan suara di TPS dan PPK. Mengacu pada Pemilu 2014 kita semua seharusnya sadar bahwa besarnya dukungan saat massa kampanye tidak berbanding lurus dengan perolehan suara saat hari pencoblosan. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengawalan serius suara di tingkat TPS dan PPK. Pada 17 April 2019 jumlah saksi 02 yang hadir tak sampai 50 %, yang lebih parah adalah rekapitulasi di tingkat kecamatan yang hampir berjalan satu bulan, saksi 02 hanya bisa hadir tanpa memiliki modal C1 pembanding yang lengkap. Hingga saat ini 02 bahkan tak punya data resmi perolehan suara nasional yang berbasiskan C1 dari internal. Siapa yang bertugas dalam pengadaan saksi ? Apakah kekosongan saksi terseut memang sengaja dilakukan ?

Kedua, ada provokasi untuk melakukan kerusuhan (bukan aksi damai) menjelang dan setelah pengumuman rekapitulasi KPU tanggal 21 Mei 2019. Prabowo dan Sandi didorong untuk menolak hasil Pemilu tetapi tidak ada rancangan aksi massa damai terpimpin yang matang. Demo di depan Bawaslu tanggal 21 dan 22 Mei 2019 benar-benar demo yang acak-acakan dan menjurus liar. Tidak jelas siapa korlap atau pemimpinya, tidak jelas siapa saja perangkat atau petugas aksinya, tidak jelas target lokasi aksinya dan tidak jelas pula apa tuntutan aksinya. Tokoh-tokoh pemimpin massa yang kerap nyaring menyerukan aksi justru tidak muncul di lapangan. Akibatnya, aksi menjadi tak terkendali dan bahkan terprovokasi menjadi kericuhan. Massa aksi arus bawah yang benar-benar hadir karena tulus mendukung Prabowo, turut menjadi korban pemukulan dan penangkapan.

Ketiga, ada sabotase tim advokasi di MK. Puluhan advokat 02 yang sudah lebih setahun melakukan advokasi kepemiluan serta mengikuti Bimtek resmi di MK nyaris tidak dilibatkan dalam persidangan MK. Yang bersidang justru sejumlah advokat yang sebagian besar tidak pernah terdengar apa kerjanya untuk pemenangan 02. Akibatnya materi gugatan seperti dibuat seadanya zonder bukti-bukti yang kuat. Tanpa ampun, gugatan tersebut ditolak oleh MK seluruhnya.

Apa mau dikata, upaya politik menggalang aksi massa konstitusional tak berjalan sebagaimana mestinya dan upaya hukum yang paling akhirpun tak memuaskan hasilnya. Momentum perubutan kekuasaan secara konstitusional di tahun ini sepertinya sudah sirna.

Hidup dan perjuangan harus terus berlanjut, Prabowo boleh dibilang sudah kalah Pemilu tapi dia tak pernah lempar handuk dalam berjuang. Sebagai seorang Jenderal dia paham kapan harus maju menggempur dan kapan harus duduk berunding sambil menghitung kekuatan. Demi ratusan demonstran yang masih ditahan, demi tokoh-tokoh pendukung yang satu persatu diperiksa pihak keamanan maka ketegangan politk harus segera dihentikan. Pertemuan dengan Jokowi di MRT adalah salah satu momen terberat dalam hidupnya. Dia rela dibully justru oleh mereka yang selama ini mendukungnya, tapi itulah jalan tercepat meredakan ketegangan. Pertemuan berjalan lancar, Prabowo terlihat bicara akrab dengan Jokowi, namun yang melegakan dia terang-terangan mengatakan akan terus menyampaikan kritikan.

Prabowo sadar bahwa perjuangan mewujudkan Indonesia Adil Makmur akan jauh lebih berat jika tak berada di pucuk pimpinan, tetapi bukan berarti dia akan berpangku tangan . Ribuan kader partai yang duduk di kursi DPR dan DPRD adalah modal besar untuk melanjutkan perjuangan.

Oleh : Saleh Ismail

- Advertisement -

Berita Terkini