Pancasila dan Agama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebuah opini sekaligus catatan pribadi yang dialami author 5 tahun terakhir ini.

“Kita Indonesia, Kita Pancasila.”

Begitu tema peringatan hari kelahiran Pancasila tahun ini. Karena kami memang mudik insyaAllah tanggal 29 ramadhan, jadi tadi alhamdulillah saya bisa ikut upacara. Hampir 2 tahunan saya tak pernah ikut upacara lagi. Sejak punya baby ke tiga ini. Karena tak tega meninggalkannya pagi-pagi.

Dan fakta itu menjadi gorengan renyah tentang antinya seorang Aina Nainawa terhadap Pancasila.

Begini kisahnya bermula. Siapkan stok hati lapang untuk membacanya. Khawatir membuat berkurang pahala di ramadhan mulia karena emosi jiwa ?

* * *

“Bu, saya mau klarifikasi!”

Suatu ketika seorang mahasiswa menghadap saya secara pribadi.

“Betulkah ibu HTI? Betulkah ibu pemahaman agamanya radikal dan harus kami waspadai?”

Jleb. Ini anak kenapa. Hampir 6 tahun saya jadi dosen, walaupun 5 tahunnya swasta. Baru 1 tahun terakhir saja saya menjadi ASN di kampus ini. Dan itu kali pertama saya mendengar pertanyaan yang gak penting saya rasa ?

“Kok, tiba-tiba tanya gitu?”
“Iya Bu, ada seorang dosen di kelas-kelas kami mewanti-wanti agar menyaring semua yang bu Aina sampaikan, karena kata beliau bu Aina radikal. Makanya saya klarifikasi.”

Saya tatap yang bersangkutan. Anaknya cukup pandai. Di kelas termasuk rata-rata atas. Dan memang anaknya vokal.

“Lha, mas percaya?”
“Justru karena saya tak percaya saya meminta kejelasan dari Ibu.”

Saya tersenyum.

“Gini, secara teori, semua orang kalau dituduh pasti mengelak. Jadi kalau saya sekarang klarifikasi pun bisa jadi dianggap pengelakan. Saya tak akan menjawab apapun, karena ybs juga tak pernah mengklarifikasi ke saya, malah memberikan stigma begitu rupa dan menyebarkan ke mahasiswa.”

“Jadi Bu?”

“Lihat saja sendiri. Buktikan sendiri kalimat beliaunya. Jika seiring waktu mas melihat radikalisme atau makar pada Pancasila ada pada diri saya, berarti benar. Jika tidak, ya… jelas jawabannya juga kan.”

Ybs terlihat tak puas. Lalu saya tegaskan.

“Mas, fokus. Tugas Anda di kampus ini belajar. Masalah-masalah begituan gak usah dipusingkan. Dilihat aja sambil jalan.”

* * *

Sebenarnya, sejak itu saya mulai kegerahan.

HTI darimananya? Saya yang ketika kuliah S1 paling suka gamisan, gelap pula. Ketika masuk kampus ini sudah berusaha menyesuaikan dengan lingkungan yang ada. Iya, kerudung saya masih panjang untuk menutupi dada. Tapi saya pakai rok bunga-bunga. Dengan kerudung berbahan sama dengan roknya, serta atasan tunik yang warnanya soft semua. Pink, ungu muda, tosca, dll. Yah, saya kan desainer sekaligus penjahit, jadi tahu lah selera berbusana. Ea, fokus Aina ?

HTI itu muslimahnya pasti gamisan, bro! Pasti! Kalaupun terlihat potongan, itu hanya permainan desain. Intinya baju mereka pasti terusan. Itu bagian dari pemahaman mereka tentang jilbab. Haduh. Mau saya luruskan tapi males. Apalagi ketika saya curhat ke salah satu teman. Teman tsb malah bercerita kalau ternyata yang menuduh saya tak hanya seorang. Ada lah sebagian pihak yang ternyata menghembuskan informasi yang sama dengan yang diterima mahasiswa. Bahkan karena informasi tersebut saya tidak diijinkan memegang beberapa mata kuliah terkait Pancasila, dan integritas saya di tim kurikulum dipertanyakan juga. Katanya khawatir menyisipkan paham yang mengerikan.

Saya pun down. Sore itu saya menangis dan mengadukan pada suami.

“Aku resign aja. Ngapain jadi PNS kalau malah membuatku tak nyaman dan menghadapi berbagai tuduhan.”

Beliau kalem.

“Resign boleh, aku malah senang. Tapi, jangan sekarang. Kalau kamu resign sekarang, maka mereka menganggap tuduhan itu benar. Woles aja. Tetap tunjukkan bahwa Aina Nainawa hanya muslimah yang ingin menjalankan perintah agama dalam kesehariannya. Justru kerudung panjangmu itulah dakwahmu di sana.”

Hah. Beratnya.

Waktu berlalu. Saya mundur dari tim kurikulum. Di semua kegiatan dan jabatan pun saya tak diikutkan, masih karena stigma yang ditempelkan. Mereka yang melakukan itu selalu berteriak dalam lisan dan tulisan NKRI harga mati, mari jaga NKRI dari faham radikalisasi. Dll.

Saya hanya bisa mengelus dada. Karena sebagian kalimat ketika ada forum terbuka jelas ditujukan pada saya. Saya hanya diam. Percuma meluruskan. Andai tak ingat ibunda dan pesan suami tercinta, pasti saya sudah lari ke hutan atau ke pantai, lalu memecahkan gelasnya di sana. Eh, apaan sih ya ?

Seorang kawan mengalami kasus yang lebih menyedihkan. Style bajunya sama dengan saya. Potongan. Namun memang kerudungnya panjang. Orangnya puintar. TOEFL dan IELTnya outstanding. Tapi tak diloloskan beasiswa karena satu alasan: HTI.

Ybs sampai nangis-nangis ngadep rektor dan dekan. Menjelaskan semuanya. Dan berharap keadilan atas sitgma yang sepihak ditempelkan padanya. Saya salut, karena saya sampai sekarang belum kepikiran untuk S3 dengan semua situasi yang ada. Ngalir aja, menikmati waktu momong ketiga anak saya ?

Di sisi lain…

Seiring berjalannya waktu, yang berteriak lantang NKRI harga mati dan penjaga Pancasila negeri ini, di kampus kami tak perform sama sekali. Bahkan, mereka mulai menampakkan ambisi. Rebutan tulang. Alias mengejar jabatan dan uang dengan sikut-sikutan. Dunia memang manis dan melenakan kan.

Kawan-kawan netral, yang tadinya sempat termakan isu saya radikal melihat bagaimana saya disingkirkan mulai menggunakan logika dan fakta di lapangan. Mereka berfikir ulang. Jadi, siapa yang sebenarnya lebih Pancasilais? Siapa yang lebih negarawan? Siapa yang menjaga integritas dan kejujuran? Aina Nainawa atau pemfitnahnya?

Saya hanya tertawa mendengar opini mereka belakangan ini. Mereka kecewa sekali dengan sekalangan manusia yang begitu ramai berteriak Pancasila namun sama sekali tak menunjukkan nilai-nilai Pancasila dalam kesehariannya.

Lalu, beberapa waktu belakangan nama-nama ASN yang terindikasi HTI juga turun dari Kementerian. Ada 5 atau 6 nama gitu di kampus saya, lupa.

Saya hanya tertawa ketika kawan-kawan heboh karena tak ada nama saya di sana. Ya sejak awal saya juga tahu, memang tak akan pernah ada nama saya di sana. Saya memang aktif pengajian kala muda, hingga kini. Tapi yang saya pahami, Pancasila dan agama Islam bukanlah kontradiksi. Islam dan Pancasila sama, satu nilai dan satu rasa. Perhatikan sila pertama, bukankah bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa?

Kawan, yang ada di seberang.

Kenapa harus ada phobia berlebihan pada kami yang berkerudung panjang dan pada lelaki jenggotan?

Kenapa kalian berani menyimpulkan bahwa tampilan kami ini identik dengan pemahaman radikal?

Mari, membuka wawasan. Kami hanya ingin lebih mendekat pada Tuhan dengan apa yang kami lakukan dari sisi penampilan. Selain penampilan, semua ajaran yang kami coba lakukan dalam keseharian adalah kebaikan.

Mari, duduk bersama. Dan mengkomunikasikan dengan kepala terbuka. Jangan tiba-tiba memuntahkan prasangka hanya karena “katanya.”

Kemarilah. Mari jaga negara bersama-sama. Agama mengajarkan kami cinta bangsa dan negara. Bahkan berkorban jiwa bagi negara maknanya jihad mulia. Lupakah kalian apa yang diteriakkan para pahlawan ketika menghadang musuh negara? Allahu Akbar!

Dan saudara sekalian. Yang ada di posisi kami sekarang.

Mari, santunlah mendakwahkan kebenaran. Bijaklah menggunakan lisan dan tulisan. Jangan mudah disulut hoax. Gunakan timbangan akal. Jangan karena tempurung yang itu-itu saja, kita bangga dan bersemangat menyebarkan provokasi serta kebencian, atas nama nahi munkar. Hati-hati, niat benar, cara salah, tak diterima amalan bukan. Bahkan yang mengerikan adalah jika kita termasuk pada barisan penebar kebohongan. Seorang mukmin bisa jadi berdosa, tapi seorang mukmin tak akan berbohong dalam hidupnya. Begitu kata seorang ustadz yang saya ingat sampai sekarang nasehatnya.

Mari, dari kedua kutub saling mendekati. Jangan ciptakan jurang lagi.

Mari baca dan resapi lagi maknanya, kita memiliki dasar negara yang begitu luar biasa:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mari, implementasikan dalam keseharian. Jangan hanya jadikan slogan. Karena Allah sangat murka pada manusia yang mengatakan apa yang tidak ia lakukan.

Ditulis pada tanggal 27 ramadhan, semoga ini bagian dari kebaikan. Maafkan jika ada diksi yang tidak berkenan.

Salam,
Ibu muda yang mencintai negara dan agama dalam waktu yang sama ❤
Facebook: Aina Nainawa.

Penulis adalah Aina Nainawa

 

- Advertisement -

Berita Terkini