Debat dan Elektabilitas

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Bagi para pendidik umumnya memberikan ujian kepada para mahasiswanya dengan sistem dan bentuk ujian open book. Mahasiswa diperbolehkan membuka buku, catatan dan bahkan boleh bertanya pada mbah google.

Mengapa ujian model seperti ini banyak diterapkan, karena para pendidik tidak ingin menilai hapalan anak didik atau mahasiswanya. Tetapi yang dinilai adalah bagaimana struktur berpikirnya, gagasan dan idenya serta bagaimana analisisnya terhadap suatu masalah, apa alternatif solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan masalah dan bagaimana rekomendasi atau keputusan yang harus diambil dalam menyelesaikan masalah.

Penilaian semacam ini mampu mengukur sisi afektif, kongnitif dan psikomotorik sekaligus mengukur keunggulan kompetitif dan komperatif seseorang. Kita membutuhkan para generasi dan para calon pemimpin yang tidak sekedar Hebat tetapi harus unggul, dan keunggulan hanya dapat diukur bukan dengan standar dan parameter yang sifatnya kuantitatif tetapi harus kualitatif.

Kebanyakan orang meragukan obyektivitas dari penilaian yang bersifat kualitatif (dengan sistem terbuka, open book dan menilai struktur berpikir serta kemampuan analisis seseorang), padahal sesubyektif apapun seorang dosen atau penilai ia tidak bisa memanipulasi hasil penilaiannya bila penilaian itu bersifat kualitatif (tidak ada relevansi dengan bocoran soal atau kisi-kisi soal dan contekan).

Bagaimana dengan Debat Pilpres I yang kemarin telah berlangsung? Sepertinya tidak menjadi hal yang esensial bila kita menyoal bocoran soal atau contekan. Sistem debat dengan uji yang bersifat kualitatif semua bisa menilai keunggulan pasangan kandidat Presiden RI dan Wakil Presiden RI. Para panelis juga telah menilai hasil debat dengan memberikan keunggulan kepada pasangan kandidat Nomor Urut 2 pada semua aspek penilaian.

Tetapi perlu dipahami bahwa Pilpres dengan pemilihan secara langsung dengan sistem one man one vote, dengan penetapan kemenangan berdasarkan perhitungan suara terbanyak (penilaian kuantitatif) maka Debat Pilpres 2019 dengan sifat penilaian kualitatif tidak begitu relevan dan signifikan terhadap keterpilihan kandidat (elefktabilitas).

Preferensi pemilih bukan lagi melihat model uji seperti debat tersebut, tetapi soal rasa, soal cinta dan soal suka mendominasi secara dominan bahkan mengalahkan rasionalitas dan akal sehat. Itulah dalan pemetaan etno politik disebut sebagai pemilih ideologis.

Jika pada hal-hal yang semacam itu, kita sebaiknya menilai dan mengamati bahwa hanya kandidat yang mampu menangkap pesan zaman, mampu menyahuti apa yang menjadi kebutuhan dan harapan pemilih yang secara kuantitas akan dipilih oleh mayoritas pemilih.

Itulah demokrasi kuantitas yang mungkin butuh waktu dan masa generasi yang panjang menuju demokrasi kualitas. Dalam kajian ilmu administrasi publik disebut demokrasi substansial bukan prosedural.

Apakah jalan pintas menuju demokrasi cerdas yang menghitung kemenangan secara kualitas dan kuantitas bisa segera diwujudkan? Itu bisa diwujudkan dengan meningkatkan kecerdasan pemilih dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sampai di sini, apakah kita masih menyoal tentang bocoran soal, tentang kisi-kisi dan contekan? Jika ia, sebaiknya kita segera merekomendasikan agar KPU membuat sistem ujian kuantitatif dengan ujian CAT (Computer Assisted Test) untuk para kandidat Presiden RI dan Wakil Presiden RI. Salam demokrasi.

Oleh: Wahyu Triono KS
Universitas Nasional, Founder SSDI dan Leader Indonesia

- Advertisement -

Berita Terkini