Tiga Modalitas Menangkan Pilkada dan Pilgub 2018

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Indonesia sebagai Negara demokrasi telah memberikan kesempatan yang setara bagi rakyatnya dalam bidang hukum, ekonomi, sosial dan politik. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang tinggi pada kedaulatan rakyatnya. Dalam pelaksanaan pemilihan umum, nilai demokrasi merupakan landasan utama untuk menyelenggarakan pemilu.

Pilkada dan Pilgub yang akan dilaksanakan serentak secara nasional pada tahun 2018 merupakan agenda penting bagi setiap daerah, bahkan menjadi agenda yang di tunggu-tunggu oleh setiap warga Negara yang ada. Perubahan mekanisme pemilu pasca reformasi tahun 1998 merupakan momentum yang tepat untuk tatanan kehidupan berbangsa dan memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk berpartisipasi dalam kontes politik. Partisipasi politik tersebut bukan hanya dalam bentuk memberikan hak suaranya dengan dating ke TPS, namun dapat di lihat dari antusiasme warga yang mendaptarkan dirinya sebagai calon legislatif maupun calon kepala daerah.

Secara sederhana potret pilkada langsung dapat di ilustrasi kan seperti balapan MotoGP, jika ingin memenangkan balapannya harus memainkan pembalap handal, motor yang sehat dan bensin yang cukup. Metamorfosisnya dapat di gambarkan bahwa pasangan calon kepala daerah berkemungkinan menang dalam pilkada jika memiliki 3 (tiga) modal dasar. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal social (social capital) dan modal ekonomi (economical capital). Ketiga modal itu dapat mempengaruhi seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar akumulasi modal yang di miliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula dukungan yang di peroleh.

Penulis akan membahas secara umum tentang ketiga modalitas politik tersebut dalam menentukan keberhasilan pasangan calon kepala daerah maupun calon legislatif, yaitu :

1. Modal Politik ( Political Capital )

J.A Booth dan P.B Richard mengartikan modal politik sebagai aktivitas warga Negara untuk mencapai kekuasaan dan demokrasi. A. Hick dan J. Misra mengatakan modal politik adalah berbagai fokus pemberian kekuasaan/sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang dapat mewujudkan kepentingan meraih kekuasaan. Intinya modal politik adalah kekuasaan yang di miliki seseorang, yang kemudian bias di operasikan atau berkontribusi terhadap keberhasilan kontestasinya dalam proses politik seperti pemilihan umum.

Modal politik yaitu berupa dukungan dari partai politik ( koalisi partai) dan dukungan elit-elit politik lokal dari organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan untuk pemenangan pilkada. Dalam konteks politik lokal (daerah) banyak terdapat elit-elit yang menduduki jabatan politik dan jabatan-jabatan strategis yang mempunyai peran penting dan pengaruh terhadap kelompok dan masyarakat di daerah tersebut.

Selain dukungan partai politik, kandidat juga memerlukan dukungan elit-elit politik lokal dan elit politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam politik dan bidang lain serta memiliki pengaruh yang besar dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki calon kepala daerah. Kandidat juga harus memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas, seperti kedudukan di partai politik dengan melihat posisi strategis dalam struktur jabatan di partai politik dan pemerintahan.
Dukungan elit partai politik hanya akan diberikan kepada calon kepala daerah yang memiliki cukup syarat seperti ketokohan, kompetensi, popularitas, kapabilitas dan integritas termasuk di dalamnya moralitas yang akan menjadi opini publik. Pemberian dukungan kepada kandidat tentunya merupakan hasil lobby elit politik dengan melihat elektabilitas serta isi kantong tas kandidat yang akan di usung untuk dijagokan sebagai kentestan pilkada karena tidak ada makan siang “gratis”.

Jika kandidat tidak mendapatkan dukungan dari elit partai politik, kandidat bisa mengajukan diri untuk maju sebagai kandidat independen yang tidak perlu di dukung oleh parpol namun harus memenuhi syarat administrasif dengan mengumpulkan KTP sebagai bentuk dukungan dari masyarakat. Namun hanya sedikit yang dapat berhasil memenangkan pilkada di Indonesia melalui jalur independen karena tidak memilki mesin partai yang jalan untuk mensosialisasikan dan mendukung secara masif calonnya.

2. Modal Sosial ( Sosial Capital )

Pierre Bourdieu, mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”.

Bourdieu juga menegaskan modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk sosial capital (modal sosial) berupa insitusi lokal atau kekayaan sumber daya alam.

Modal sosial yaitu dukungan figur kandidat karena ketokohan sehingga adanya kepercayaan (trust) dari masyarakat menciptakan interaksi sosial dan adanya jaringan-jaringan yang mendukung. Modal sosial yang dimiliki calon bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat (tokoh agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya) merupakan Modal sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat bahwa kekuasaan juga diperoleh karena kepercayaan.

Kepercayaan di gunakan untuk memperoleh kedudukan merupakan seseorang atau sekelompok orang yang memang dapat dipercaya atas dasar kepercayaan masyarakat. Jika kekuasaan dilanggar, maka masyarakat dengan mudah tidak percaya lagi kepada pemegang kekuasaan. Pengaruh ketokohan dan popularitas, latar belakang pendidikan dan pekerjaan kandidat menentukan pemenangan pemilukada, karena untuk membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat kandidat harus memiliki pengaruh tersebut.

Sedikitnya para pakar membagi modal sosial di bagi dalam dua kelompok. Pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (sosial network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

Dalam mengikuti kontestasi pilkada atau pileg setiap orang dapat mencalonkan dirinya di pemilu sebagai calon dengan hanya mengandalkan modal sosial tanpa tambahan modal lainnya. Dengan modal sosial dan network yang luas tidak dapat di pungkiri bahwa setiap orang juga memiliki peluang yang sama untuk menang. Seperti abang-abang becak, perwakilan buruh, perwakilan pemuda, nelayan atau siapa saja jika di dukung penuh oleh institusi maka tidak dapat dinafikan akan menghasilkan sebuah kemenangan bagi calon tersebut dengan misi yang sama untuk kata kesejahteraan bagi anggotanya.

3. Modal Ekonomi ( Ekonomical Capital )

Dalam kontek pilkada atau pileg modal ekonomi memiliki peran penting sebagai “penggerak” dan “pelumas” mesin politik yang dipakai. Saat musim kampanye misalnya membutuhkan uang yang besar untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak spanduk, membayar iklan, konsultan politik dan berbagai kebutuhan yang lainnya. Bahkan modal ekonomi dapat menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang dicalonkannya.

Modal politik dan ekonomi saling berkaitan dalam iklim politik yang menekankan kepada interaksi spontan (jarak waktu komunikasi yang pendek) antara pemilih dan calon politik. Waktu yang pendek dalam sosialisasi diri selaku calon politisi mendorong penggunaan modal ekonomi sebagai jalur pintas. Kondisi ini banyak terjadi di negara-negara berkembang yang masih dalam proses transisi menuju pemilu rasional dan penciptaan pemilih rasional. Opini Medan, Ilham S

Penulis adalah Konseptor Popularitas dan Elektabilitas Politik Sumatera Utara

- Advertisement -

Berita Terkini