[Komunis] Antara Eksistensi dan Wacana, Serta Himbauan Politikus

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Fiqr

MUDANews.com – Akhir-akhir ini perpolitikan Indonesia tampak semakin memperlihatkan kekacauan yang cukup rumit bak mengurai benang kusut. Berbagai macam isu yang tak pantas untuk digulirkan pun akhirnya keluar dari dalam ‘dubur penguasa,’ yang seharusnya tabu untuk dijadikan alasan bagi setiap orang maupun elit sebagai pemetaan politik.

Tak terlepas persoalan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Persoalan ini saat ini tengah menjadi polemik yang cukup menguras tenaga dan pikiran pemerintah kiranya untuk dapat diselesaikan dengan bijak.

Belum selesai persoalan SARA, muncul pula isu yang telah lama terkubur dalam sejarah perjalanan bangsa ini yang seharusnya hanya sebatas dijadikan sebagai refleksi sejarah, jika kita tak ingin melupakan apa yang disampaikan oleh Bapak Pendiri Bangsa ini, yang sempat memesankan pada anak cucunya untuk tidak pernah melupakan sejarah atau yang terkenal dengan istilah ‘jass merah’ (jangan sekali-sekali melupakan sejarah).

Ialah komunisme, yang kini kembali bangkit dari kubur sejarah kelam refleki bangsa itu (begitu kira-kira yang kini masyarakat pada umumnya pahami). Ideologi yang berasal dari paham seorang materialis yang sempat mengatakan bahwa agama adalah sebatas candu bagi kaum proletar yang diciptakan oleh elit kapitalis penguasa untuk meninabobokkan perjuangan kaum buruh, ialah Karl Heinrich Marx, filsuf ber darah Yahudi Jerman yang pemikirannya kini dapat dikatakan mendunia.

Seperti dilansir RMOL.co, Sabtu (18/2), oleh salah seorang politius Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memesankan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mewaspadai bangkitnya ideologi yang sempat besar mengisi detik-detik perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ialah Hermanto, yang kini tengah duduk berkuasa sebagai Anggota MPR RI dari fraksi partainya, yang mengatakan, “Masyarakat perlu senantiasa waspada. Perkuat sendi-sendi kehidupan dan senantiasa sigap mengantisipasi keanehan-keanehan yang muncul di tengah-tengah masyarakat,”

Isu yang kini marak (pastinya berkembang melalui ‘media’) ditanggapinya dengan mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan desakan kepada pemerintah untuk meminta maaf terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Menurutya, ‘mereka’ dengan berani mengatasnamakan Hak Azasi Manusia dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai proses ideologisasinya. “Atas nama hak asasi manusia dan Bhinneka Tunggal Ika mereka merasa berhak berbicara dan melakukan apa saja,” ungkapnya, seperti dalam keterangan pers yang ‘sengaja’ dibuatnya ketika ia bersafari ke Solok, Sumatera Barat, Jumat (7/2).

Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa Pembukaan UUD dan Pancasila mewajibkan bangsa Indonesia mengakui eksistensi Tuhan. Karena itu tidak ada tempat bagi ideologi apapun yang tidak mengakui eksistensi Tuhan di Indonesia.

Hal ini dikarenakan pemahaman atas ideologi komunisme tersebut dinilai telah menegasikan nilai-nilai ketuhanan dengan dasar ideologi materialisnya. Menurut ideologi ini, segala sesuatu yang dianggap ada adalah segala sesuatu yang bersifat mater (benda), hematnya, dapat dilihat, disentuh, dirasakan kehadiran fisiknya dan lain sebagainya. Untuk itu bagi siapa saja yang tak mampu menjelaskan keberadaan tuhan secara materi maka ia dianggap tak memiliki rasionalitas yang wajar dalam ideologi ini. Dan akhirnya bagi mereka yang tak mampu mengantitesiskan paham ini akan menilai bahwa tuhan=imateri=metafisik=tidak ada=omong kosong.

Hermanto, dalam penjelasan singkatnya mengatakan bahwa ideologi komunis berpaham atheisme, dan tidak mengakui eksistensi Tuhan. Karena itu tidak ada tempat di negeri ini bagi yang berpaham seperti itu.

Ia berpegang pada larangan terhadap ideologi Komunis untuk hidup di bumi Indonesia secara eksplisit yang diperkuat oleh Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

“Tap MPRS ini masih berlaku dan menjadi dasar hukum untuk menolak komunisme,” demikian disampaikannya diakhir konfrensi persnya.

Pada sudut pandang yang sedikit berbeda, hal ini sedikit menimbulkan pertanyaan mendasar, bahwa berkaitan dengan kondisi perpolitikan Indonesia yang tengah menemui titik ketidakseimbangan (disekuilibrium), dengan berusaha tidak memihak ke manapun, akankah isu ini mencuat juga merupakan bagian dari dalih pemetaan politik para elit? Mengingat masyarakat secara sosiologis berinteraksi dengan menginterpretasikan simbol-simbol yang disampaikan melalui media komunikasi, dan hal ini merupakan dalih permainan simbol tersebut atas ketidakdewasaan interpretasi masarakat yang dengan mudahnya menerima informasi dan menelannya tanpa sisa. Lalu bagai mana jika hal ini tidak dibesar-besarkan? Akankah isu ini dapat berkembang karena eksistensinya yang nyata tanpa dibesar-besarkan oleh media dan para elit?[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini