Satu T Untuk Satu P

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh Shohibul Anshor Siregar

MUDANews.com – |…..jika akan mengintervensi sebuah partai, katakanlah PDI yang kemudian harus pecah belah hingga salah satunya menjadi PDI-P yang kini menjadi “milik” Megawati, lazimnya Orde Baru akan memilih modus operasi intelijen berbiaya sangat mahal untuk mengesankan dengan demokrasilah dan konstitusilah semua intervensi itu berlangung| Tetapi pada zaman Jokowi tampaknya semua itu cukuplah hanya dengan mengandalkan pena dari seorang Yasonna H Laoly saja|

 

Ada negara yang membiayai sepenuhnya partai politik seperti Uzbekistan. Ada pula yang sama sekali tak mensubsidi apa pun seperti Selandia Baru. Tetapi di antara kedua ufuk itu, ada variasi dalam persentase jumlah bantuan negara (dari standar tertentu yang disepakati) kepada partai.

Menurut keterangan berbagai sumber,  di Inggris, Italia, dan Australia, partai memeroleh bantuan 30 % dari kebutuhan. Ada pun di Perancis, Denmark, dan Jepang, negara menyumbang 50 %. Sedangkan Austria, Swedia, dan Meksiko sebesar 70 %.

Wacana peningkatan jumlah bantuan negara kepada partai menjadi Rp 1 triliun (Satu T untuk Satu P) yang berkembang belakangan ini masih belum menemukan pengerucutan.

Dimana-mana orang yang menolak cenderung hanya berbicara pantas atau tak pantas, dengan menggunakan ukuran kondisi sosial ekonomi rakyat saat ini.

Jika kini Indonesia sangat perlu uang untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, bendungan, irigasi, jalan, jembatan, gedung sekolah dan lain-lain, mengapa bukan itu yang menjadi prioritas pembelanjaan?

Padahal karena perhitungan anggaran untuk sektor produktif seperti itulah pemerintahan Jokowi merasa amat yakin rasionalitas pemotongan subsidi harga BBM dilakukan dengan penuh resiko.

Terasa juga sangat kontraproduktif dengan materi “jualan” Jokowi ke berbagai negara “we are waiting for you to come to Indonesia; we are waiting for your investations; this is your opportunity”, dan lain sebagainya.

Lagi pula cukup aneh juga bahwa di tengah kemiskinan yang hingga tak mampu menahan arus jumlah tenaga kerja tak berketerampilan ke berbagai negara dengan resiko perlakuan sangat buruk hingga ada yang harus kembali ke tanah air dalam peti mayat, malah mengalokasikan sejumlah besar uang kepada partai.

Tak jarang pula disertakan argumen-argumen penolakan skeptik seperti, apakah dengan pemberian bantuan sebesar itu korupsi politik akan serta-merta hilang dan kinerja partai akan otomatis lebih baik? Apakah seluruh partai yang secara umum kadar keburukannya benar-benar nyata tanpa pengecualian sama sekali akan diserahi uang sebanyak itu, padahal hampir pasti uang itu akan dikorupsikan oleh pemimpin partai?

Obsesi Kemandirian. Salah satu argumen pendukung Satu T untuk Satu P adalah kemandirian partai. Itu tentu sebuah isapan jempol belaka. Sedangkan tanpa bantuan sebesar itu pun Indonesia zaman Jokowi sudah memeragakan kekasaran kekuasaan terhadap masyarakat sipil melalui perlakuan buruknya yang telanjang terhadap partai, khususnya yang dialami oleh PPP dan Golkar. Orang begitu senang berlomba mendekati sumbu kekuasaan meski itu dengan mempermalukan sesama (internal) dalam satu partai. Konon lagi akan ada Satu T untuk Satu P? Jika tidak hati-hati, kebijakan Satu T untuk Satu P dapat sangat kontraproduktif terhadap demokrasi.

Entah terkait atau tidak, tetapi jika gambaran Jokowi tentang kunci kemajuan Cina, yang dikemukakannya dalam kuliah umum di kampus UGM, yakni prasyarat bersatunya partai (partai-partai), tampaknya akan diperolehnya dengan begitu mudah melalui kebijakan Satu T untuk Satu P ini.

Esensi kuliah umum yang pernah disampaikan Jokowi di UGM dapat dibahasakan lain sebagai “permohonan untuk menjadi diktator dalam sebuah negara berlabel resmi demokrasi”. Tergantung kepada Indonesia akan memenuhi permohonan itu atau tidak, sepenuhnya atau separohnya. Kata Arbi Sanit, Jokowilah presiden Indonesia paling lemah sepanjang sejarah. Dengan cara apa Jokowi akan menjalankan mandatnya jika ia begitu lemah?

SBY mampu berdialog dan akhirnya berdamai dengan hampir semua partai dengan ajakan yang disambut baik melalui bagi-bagi kekuasaan dengan tak hanya melalui distribusi jabatan menteri yang berjumlah besar, tetapi juga dengan pembentukan Sekretariat Gabungan Koalisi Partai (Setgab). Memang Jokowi sudah menambah jumlah kementerian, dan karena faktanya begitu tak berkuasa dalam mengisi pos-pos kementerian itu, maka keluhan awal (lemah) tidak tertutupi sama sekali hingga melanggar janjinya sendiri tentang kabinet ramping yang terkenal itu.

Fakta Jokowi lemah akan paling mudah menjadi sub-ordinasi kekuasaan lain dengan saluran dan metode tertentu yang jarang dapat kelihatan oleh pengamatan dari luar. Kekuasaan itu memang tidak nyata senyata bangunan istana, bahkan seorang raja sekalipun terkadang selalu harus bertanya apakah dirinya yang sungguh-sungguh berkuasa atau, di manakah sesungguhnya kekuasaan itu.

Ada peramu kekuasaan di sekitar Jokowi, dan sejalan dengan pandangan Arbi Sanit, kelemahan Jokowi telah ditutupi oleh jaringan kekuasaan efektif yang mensubordinasikannya itu. Itu pulalah yang membuat penjelasan Arbi Sanit tidak terkonfirmasi di sini. Seorang lemah kok bisa sedahsyat itu mengutak-atik partai?

Bagaimana ini bisa terjadi dan apa penjelasan yang masuk akal? Sebagai perbandingan, kata seorang aktivis demokrasi dari generasi 98, pada zaman Orde Baru Soeharto masih memerlukan pertimbangan etika demokrasi umum dan pandangan dunia untuk setiap langkahnya menata politik dalam negeri.

Bahwa jika akan mengintervensi sebuah partai, katakanlah PDI yang kemudian harus pecah belah hingga salah satunya menjadi PDIP yang kini menjadi “milik” Megawati, lazimnya Orde Baru akan memilih modus operasi intelijen berbiaya sangat mahal untuk mengesankan dengan demokrasilah semua intervensi itu berlangung, maka pada zaman Jokowi tampaknya cukuplah hanya dengan mengandalkan seorang Yasonna H Laoly saja.

Di tangan Yasonna H Laoly semua sudah bisa selesai kelihatannya, dengan hanya sedikit tambahan instrumen-instrumen remeh-temeh semisal tingkah kepremanan pada tingkat internal seperti yang menimpa Ngabalin baru-baru ini.

Kebijakan bipolar and segmentary process (politik belah bambu) pada zaman Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan zaman Jokowi sebetulnya memiliki asas dan tujuan yang sama.

Hanya saja ada yang sangat tak beretika. Boleh jadi hal ini salah satu hasil pembiasaan menikmati maki-maki pejabat yang sudah lazim menjadi asupan informasi politik seluruh rakyat Indonesia berkat hegemoni media mainstream yang sangat bertanggungjawab untuk degradasi ini, seperti yang dicontohkan selalu dengan gagah dan berani oleh Ahok, justru dari lokasi pusat operasi kekuasaan negara.

Pada zaman Orde Lama bukan hanya politisi yang dipersulit dan bahkan dipenjarakan. Sisa personal Koes Plus yang masih hidup pasti masih dapat bercerita lancar untuk pengalaman dituduh sebagai penganut gagasan-gagasan kapitalistik dengan musik yang dikategorikan oleh kekuasaan sebagai genre ngak-ngik ngkok yang diklaim anti revolusi.

Tetapi bayangkanlah, kini seorang vokalis dari sebuah kelompok paling kesohor pun sudah ikut-ikutan mencaci politisi (Haji Lulung) yang sedang berada di gelanggang pertarungan melawan kekuasaan (Ahok). Demokrasi memang sangat mahal, dan apa yang dinamai A tidak selalu harus dapat terbaca seperti apa adanya. Urusannya selalu tak sederhana.[jo]

Bersambung…..

Penulis merupakan Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

- Advertisement -

Berita Terkini