Deteksi Dini Fasisme

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Fasisme itu sebuah pilihan. Kelihatannya mendapat tempat yang cukup luas pada saatnya, meski pasca perang dunia kedua melemah seiring dengan kesadaran atas peran strategis sumberdaya manusia seutuhnya sebagai jawaban terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan penuh kedamaian dan martabat di permukaan bumi. Tetapi lebib dari satu dasawarsa lalu (2003) ilmuan politik Dr. Lawrence Britt dengan berani menulis “Fascism Anyone?” dalam majalah Free Inquiry yang secara tegas menyebut Hitler (Germany), Mussolini (Italy), Franco (Spain), Suharto (Indonesia), dan Pinochet (Chile), sebagai pemimpin regim fasis dengan 14 elemen umum yang melekat pada karakteristik regim tersebut. Karena keterbatasan ruang tidak mungkin diceritakan keseluruhannya di sini. Tetapi tulisan ini didasarkan pada minat memperbandingkan karakteristik yang diberikan oleh Britt itu dengan kondisi kekinian Indonesia.

Dimensi Keterbelakangan

Powerful and continuing nationalism, salah satu di antaranya, diterangkan sebagai kecenderungan konsistensi rejim dalam penggunaan motto, slogan, simbol, lagu dan berbagai pernak-pernik (paraphernalia) patriotik lainnya. Tentu tidak ada yang salah dengan semua paraphernalia itu. Hanya saja kerap kehilangan konteks karena tak dapat disublimasikan untuk kebutuhan dan tantangan modern, dan yang lebih parah malah seutuhnya slogan itu sudah berada di luar jangkauan sehingga menjadi sangat utopis.

Zaman berubah, orang-orang masih belum sadar, kira-kira begitu tragedinya. Karena bayang-bayang ketakutan sendiri terhadap berbagai musuh atau bayang-bayang musuh yang memang kerap sengaja diciptakan, dan kebutuhan atas keamanan, rakyat di bawah regim fasis terkonstruk untuk menganggap berbagai bentuk pelanggaran atas HAM sebagai keniscayaan belaka (disdain for the recognition of human rights). Orang-orang pun disatukan sedemikian rupa oleh hiruk-pikuk patriotik atas kebutuhan untuk menghilangkan berbagai bayangan ancaman umum yang mungkin bersumber dari berbagai faktor seperti ras, etnis atau agama minoritas, liberalitas, komunis, sosialis, teroris, dan lain-lain (identification of enemies/scapegoats as a unifying cause). Memang, rasa ketakutan dianggap tepat untuk digunakan sebagai alat motivasi oleh pemerintah atas massa (obsession with national security).

Seberapa besar dari elemen fasis versi Britt itu masih inheren dalam keindonesiaan kontemporer? Membandingkan Orde Baru dengan era reformasi secara umum memang kelihatan sangat berbeda. Tetapi dengan melihat segala macam pernak-pernik kenegaraan dan kebangsaan yang diintoduksi menggantikan semua instrumen lama, kini kita sadar bahwa ternyata keadaan belum lebih baik dan pada level masyarakat nilai-nilai belum banyak berubah. Ketika dituduh sebagai kelompok paling intoleran terhadap perbedaan dan dituntut bubar, FPI dengan terang-terangan memberi data kekerasan yang bukan saja memiliki pola persebaran yang begitu merata di antara seluruh peneriak mereka, dan suka atau tidak suka, justru lebih didominasi oleh kelompok-kelompok politik pencari kekuasaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan data indeks demokrasi Indonesia, jelas cara-cara fasisme masih digandrungi di semua level.

Perilaku kepemimpinan nasional Indonesia belum bergeser jauh, mungkin hanya mampu mencatat kemajuan yang tak berarti. Agenda pengembangan civil society diterlantarkan, dan dengan dalih buruknya dampak demokratisasi dan reformasi (kebebasan mengungkapkan pendapat yang berdimensi lain termasuk kekerasan), keinginan-keinginan buruk menyudutkan supremasi sipil terus-menerus digencarkan, sembari memberi proteksi terhadap kelompok istimewa dalam dunia usaha yang berkelindan dengan kekuasaan. Pada sisi lain, dalam keadaan tak memahami diri sendiri (pembangunan yang tak merata, pengelolaan sumberdaya yang tak adil, diskriminasi distribusi sumberdaya, penelantaran sektor pertanian sebagai tempat mayoritas rakyat bergayut, tipuan-tipuan penganggaran dan sandiwara pemberantasan korupsi), Indonesia seolah mengukuhkan sebuah penyesalan keterlepasan dari zaman lama. Ini tidak hanya dapat disaksikan dari betapa banyaknya orang dengan kegandrungan uniform militer dengan tuntutan dan hasrat pengistimewaan dalam hukum dan akses dalam banyak hal, tetapi lebih mudah disaksikan dari komandoisme, sentralisme, pemandulan pengawasan dan share of value mechanism yang dimacetkan.

Tampaknya partai-partai adalah salah satu jembatan utama untuk obsesi fasisme dengan pernak-pernik demokrasi prosedural yang menyedihkan. Tidak ada yang penting bagi partai kecuali membangun jaringan “perusahaan kartel” berbasis kekuasaan politik yang merugikan rakyat. Pengamat dari luar akan terkecoh menyaksikan di Indonesia ada KPK atau tertangkapnya sejumlah politisi dalam kasus korupsi. Puncak gunung es itu memang dikehendaki terpublikasi luas, termasuk dramatisasi pemenjaraan sejumlah Kepala Daerah. Fraudulent elections, kata Britt, kurang lebih adalah penggambaran atas pemilu palsu atau yang dimanipulasi, penggunaan undang-undang untuk mengendalikan jumlah suara dan manipulasi media. Negara-negara fasis juga biasanya menggunakan peradilan mereka untuk memanipulasi atau mengontrol banyak hal, termasuk pemilu. Tidakkah itu identik dengan pengalaman kontemnporer Indonesia? Negara-negara fasis cenderung mempromosikan dan mentolerir permusuhan terbuka untuk pendidikan tinggi dan akademisi yang kerap disensor atau bahkan ditangkap. Kebebasan berekspresi dalam seni secara terbuka diserang, dan pemerintah sering menolak untuk mendanai aktivitas seni. Lalu, mau disebut apa pembangkangan pemerintah (nasional dan lokal) atas titah konstitusi tentang alokasi 20 % anggaran untuk pendidikan sambil bersiasat buruk menyamarkan data?

Marilah kita berfikir objektif, jujur dan lurus. Berapa lama Indonesia dijajah oleh Belanda? Negara kecil itu kok begitu perkasa? Sekecil apa Singapura itu? Lebih luas dari Pulau Samosir?  Berapa penduduk Malaysia? Ada 35 juta? Berapa penduduk yang mau menembaki Indonesia dari Australia? Ada 40 juta? Ada yang membayangkan bisa mengalahkan tentara Amerika dan sekaligus menduduki Negara itu untuk mengendalikan era baru dunia? Laos, Vietnam, Thailand, Filipina, Brunai Darussalam agaknya tak memiliki alasan untuk menyerbu secara militer ke sini.  Maksudnya, perhatikanlah sekeliling. Tak ada ancaman invasi militer yang menjadi alasan untuk menkondisikan mobilisasi sipil untuk perang menghadapi pasukan asing. Tetapi ancaman separatisme pastilah makin kuat karena penderitaan yang tak terperikan di bawah kepemerintahan yang ingin bersenang-senang sendiri. Di perbatasan dengan Malaysia tidak perlu ada dramatisasi, karena masalahnya hanyalah ketidak-bersyukuran atas warisan Indonesia hingga memberi nama untuk pulau-pulau kecil yang ada hingga saat ini Indonesia belum mampu. Menghitung jumlahnya pun mungkin masih harus menunggu 5 kali pilpres lagi. Itulah ancaman Indonesia. Memang tidak mudah, dan jika upaya untuk itu harus terlebih dahulu “berdamai” dengan orang-orang berfikir ala fasis, maka Indonesia tidak berhak atas sebuah harapan.

Penutup

Seberapa penting kontribusi keberlanjutan nilai-nilai fasisme sebagai kendala serius? Mungkin bermanfaat meminjam penjelasan Feldman dan Mason, bahwa dalam bidang ekonomi fasisme dapat dibedakan oleh tidak-hadirnya ideologi ekonomi yang bertalian secara logis dan tidak-hadirnya pemikir ekonomi yang serius. Keputusan-keputusan yang diambil para pemimpin tidak dapat dijelaskan dalam kerangka kerja ekonomi yang logis. Lalu ketidak-miripan apa yang terdapat dalam kasus century gate dengan penggambaran Feldman dan Mason?

Sekarang orang kerap berfikir ego-sektoral dan regional dalam membangun Negara. Mereka pun kerap berucap hukum menjadi panglima. Padahal seperti dokter spesialis THT yang berusaha menyembuhkan pasiennya, adalah kesia-siaan belaka jika jantung pasien itu sudah jebol atau ginjalnya rusak karena diterjang resep penyembuhan THT.  Harus ada orang atau golongan yang menawarkan jalan lurus untuk menyelamatkan Indonesia. Jalan itu bukan fasisme, dan sangat jelas pola-pola baru harus muncul dari seorang pemimpin.

Pemimpin itu bukan orang yang terpenjara secara politik maupun kultural, betapapun panggung-panggung depan (front stage) telah disiapkan oleh media darling dalam kerja-kerja framing yang buruk untuk mereka.  Rakyat pun harus tahu dan dibuat tahu, bahwa globalisasi akan segera membuatnya berubah status menjadi budak bagi Negara lain.

Jika itu terjadi, lakukan sesuatu, dan itu bukan jalan fasis. Slogan tak berarti untuk tantangan ini, kawan.[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini