Agama dan Politik: Mendirikan Negara Islam

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Roni

MUDANews.com – Setelah mengetahui pengertian dari istilah kunci; Agama dan Politik, dengan mudah kita bisa memahami hubungan antara keduanya. Para pengikut paham Modernis, Marxisme, dan Sekularisme mengatakan bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling berlawanan dan bertentangan. Mereka menganggap agama sebagai lawan politik, dan sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa bertemu. Sebab sumber, ciri, dan tujuan keduanya berbeda. Agama berasal dari Tuhan, sementara politik berasal dari manusia. Agama bersifat sakral, suci, dan lurus, sementara politik bersifat kotor dan kejam.

Mengapa para pembaharu Islam mengaitkan politik dengan agama, konsep tentang universalitas Islam yang di tentang keras baik oleh para pemikir modernis, sekularis adalah konsep yang sudah menjadi konsesus di kalangan ulama Islam dan para pembaharu pada masa sekarang. Islam meberikan ketentuan ataupun petunjuk hidup kita karena Islam mencakup seluruh aspek, baik material maupun spiritual, serta individu maupun sosial, sebagaimana firman Allah dalam Alquran:

“Dan kami turunkan kepadamu Alkitab (alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang bersedih”. [QS. Na-Nahl: 89]

Salah satu target orang- orang sekular dari aliran mana pun, adalah jangan sampai agama Islam memiliki negara yang secara terang- terangan mengatasnamkan keislamanya, berani mengangkat tegak bendera keislamannya, menerapkan hukum- hukum Islam terhadap kaum muslimin, menyampaikan amanat risalah Islam kepada seluruh penjuru dunia ini dan membela tanah air dan bangsanya di depan para musuh.

Sepenjang sejarah, kaum muslimin tidak mengenal adanya pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan negara seperti sekarang ini. Dahulu Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia, karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi tiga. Pertama; Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah, kedua; Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum, ketiga; beliau sebagai kepala negara yang menagani persoalan bangsa.

Sepanjang sejarah islam, baik seorang khalifah, amir (gubernur) ataupun sultan merasa harus bertanggung jawab untuk menegakkan dan membela agama Islam di negara yang di pimpinya. Dan hal inilah yang dijelaskan Alquran;

“Yaitu orang- orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi  niscaya mereka mendirikan sembahyang menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar”. [QS. Al-Hajj: 41]

Dalam tulisan terdahulu (“Agama Dan politik” Islam adalah politik )  saya sudah menerangkan bahwa Agama tidak terpisah dari politik, begitu juga sebaliknya politik tidak terpisah dari agama. Tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam negara. Padahal aktifitas yang terlihat paling nyata tercermin dalam negara yang mampu menegakkan agama dan menerapkan ajaran- ajarannya di atas muka bumi.

Berkali- kali sya tekankan bahwa salah satu fakta sejarah Islam yang diketahui semua orang, bahwa agama Islam sama sekali tidak pernah mengenal ada negara tanpa agama. Atau ada agama tanpa negara, bahkan tidak pernah berpikir akan ide seperti ini dikemudian hari.

Seorang penyair pernah memuji Khalifah Al-Ma’mun dalam sebuah syairnya,

Imamul huda Al-Ma’mun sibuk dengan agama (ibadah)

Sedang rakyatnya hanya sibuk dengan urusan dunia

Tetapi Al-Ma’mun membantah penyair tersebut dan memandangnya dengan mata memerah, padahal si penyair sangat bangga dengan syairnya tersebut. Ia pun mengadukan hal tersebut kepada sahabatnya sesama penyair yang bernama Umarah yang juga cucu penyair Jarir. “Amirul mukminin tidak mengetahui syair, “katanya. Ia kemudian membacakan syairnya didepan umarah. Umarah menjawab “ demi Allah, dia sudah berbuat bijak karena tidak menghukummu, celaka kamu! Jika dia tidak sibuk dengan dunia, lalu siapa yang menangani segala persoalan dunia? syair yang kau ciptakan sama dengan syair yang dibuat oleh kakak saya kepada abdul Aziz bin Marwan.

Walau didunia, ia lupakan segala urusan duniawi

Urusan dunia tak pernah membuatnya lupa dengan agamanya

Si penyair menjawab, “sekarang aku mengaku bersalah. (Baca: Al-Khabar fi Ath-Thabari, jilid. 5, hlm. 203. Demikianlah orang dahulu melihat keharmonisan antara agama dan negara, termasuk didalamnya politik.

Saat Rasulullah wafat, satu tindakan yang menjadi perhatian para sahabat adalah memilih pemimpin mereka sebagai pengganti beliau. Karena pentingnya pemilihan pemimpin, mereka sampai mendahulukanya dari memakamkan jenajah beliau. Mereka terlebih dahulu  membaiat sekaligus menyerahkan segala urusan kepada Abu Bakar. (Baca: Al- Bidayah wan Nihayah. Karya Ibnu Katsir, jilid. 6, hlm. 301).

Dalam sejarah islam, kaum muslimin tidak pernah mengenal ada pemisahan antar agama denagn negara, kecuali pada masa sekarang setelah kaum sekularis mengangkat ide tentang sekularisme. Hal ini lah yang sudah jauh sebelumnya diingatkan Rasulullah dan menyuruh kita melawanya, sebagaimana di sebutkan dalam sabda beliau kepada Mu’adz,

”Ketahuliah bahwa poros agama Islam berbentuk seperti sebuah lingkaran, maka poros itu berputar searah dengan islam. Ingatlah bahwa alquran dan kekuasaan akan terpisah (maksudnya adalah agama dan negara), janganlah kalian pisahkan alquran karena kelak akan ada para pemimpin yang memutuskan hukum untuk mereka, berbeda dengan putusan hukum yang dijatuhkan kepada kalian. Jika kalian menantang mereka, mereka akan membunuh kalian dan jika menaatinya, mereka akan menyesatkan kalian.”

Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang harus kami lakukan, Wahau Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Lakukan seperti para sahabat nabi Isa bin Maryam, mereka di potong- potong dengan gergaji dan disalib diatas kayu. Mati dalam keadaan taat kepada Allah lebih baik dari pada mati dalam keadaan maksiat epada Allah.” (diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dari Mu’adz, jilid. 20, hlm. 90.)

Jika demikian pentingnya keberadaan dan peran sebuah negara bagaimana mungkin Islam menyerahkannya kepada tangan sekularis dan sosialis atau lainya. Hal tersebut sama saja dengan mengarahkan negara kepada keyakinan syariat dan norma yang sangat bertentangan dengan Islam sekaligus melepaskan risalah agama yang menjadi dasar keberadaan sebuah negara.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah,,

Penulis adalah Dosen Fakultas Saintek UIN-SU

- Advertisement -

Berita Terkini