Agama dan Politik: Negara Sipil yang Berdasarkan Islam

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Muhammad Roni

MUDANews.com – Sebelum berbicara jauh tentang posisi politik dalam agama atau posisi agama dalam politik, serta relasi antara keduanya dari segi teori, apakah keduanya merupakan sinonim, antonim, atau dua kalimat yang berlainan. Lalu dalam prakteknya, apakah keduanya saling berhubungan atau berlawanan? Memiliki banyak persamaan atau perbedaan yang jauh? Keduanya bisa berjalan bersama- sama atau bersaing?

Kata As-siyasah yang dianggap telah memiliki pengaruh besar dalam seluruh aspek kehidupan kita. Bahkan suka atau tidak suka, politik telah mengarahkan kita untuk mengikuti keinginan  para politikus, baik mereka yang menjadi konseptor, pelaksana, maupun penguasa. Oleh sebab itu, terlebih dahulu kita harus memiliki batasan politik yang jelas terhadap istilah kunci “Agama dan Politik”. Sebab, memberikan kesimpulan terhadap suatu istilah sebagaimana dikatakan oleh para ulama logika adalah bagian dari gambaran istilah tersebut.

Negara tidak berhak melarang warganya untuk menggunakan hak dalam menyalurkan aspirasi terhadap partai tertentu. Karena tujuan mereka adalah ingin  berpartisipasi dalam membangun, memperbiaki, dan mengembangkan negara. Negara tidak boleh melarang mereka hanya karena mereka adalah warga yang taat beragama atau karena cara mereka membangun negaranya mengikuti syariat agama. Bukankah larangan ini bertentangan dengan undang- undang yang menegaskan persamaan bagi semua warga negara. Dengan demikian tidak ada alasan untuk membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainya.

Sementara itu, di sisi lain kita mendapatkan bahwasanya partai- partai yang tidak mengakar di masyarakat dan membawa ideologi asing yang tidak dikenal masyarakat justru mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa, meskipun partai- partai itu hampir – hampir tidak mendapatkan suara dan sama sekali tidak mempunyai pengaruh apa pun.

Salah satu konsekuensi logis dari konsensum kaum sekularis adalah mereka melarang terbentuknya negara islam. Mereka melemparkan berbagai tuduhan yang tak benar, juga tidak segan- segan melakukan propaganda dan provokasi untuk menciptakan opini dan citra yang buruk terhadap negara islam. Mereka mengatakan, “ Negara Islam adalah negara agamawan (klerikal ala gereja abad pertengahan) yang hanya memperhatikan persoalan agama dan sudut pandang agama, negara islam adalah negara ketuhanan yang membuat keputusan hukum terhadap persoalan di dunia dengan mengatasnamakan langit, menyelesaikan urusan dunia manusia atas nama Tuhan”.

Pada hakikatnya, negara islam adalah negara madani (civil society) sebagaimana bentuk negara lainnya, hanya saja bedanya negara Islam berdasarkan syariat Islam. Disamping itu, konsep negara Islam juga mengharuskan seorang pemimpin yang di baiah oleh rakyat secara umum. Adanya demokrasi, seorang pemimpin yang mengikuti keputusan rakyat yang diwakili oleh para wakil rakyat, adanya pertanggung-jawaban seorang penguasa dihadapan rakyat serta adanya hak setiap rakyat untuk mengingatkan, memberikan saran, serta mengajak kepada kebaikan. Dalam hal ini menurut konsep negara islam hukumnya fardhu kifayah bagi komunitas muslim secara umum.

Pempinan dalam Islam bukan seorang yang memilik kekuasaan tanpa batas karena ada aturan syariat yang mengaturnya. Negara islam menganggap seorang pempinan atau pemerintah hanya sebagai manusia biasa yang tidak boleh dikultuskan dan tidak bisa terlepas dari kesalahan. Tidak ada seorang pemimpin atau siapapun yang dapat merubah dan membekukan peraturan-peraturan, ataupun memilih sebagian peraturan yang sesuai dengan kepentinganya, sebagaimana firman Allah Swt:

“Dan tidaklah patut bagi laki- laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasulnya-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah da Raul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. [QS. Al- Ahzab: 36]

Negara islam adalah negara kerakyatan, muhammad abduh dalam bukunya, “Al-Islam wa An- Nashraniyah ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyah” membantah Farah anthun, beliau berkata; “Islam tidak mengenal istilah kekuasaan (Negara) agama dan agamawan sebagaimana yang dipahami oleh orang- orang barat. Di dalam Islam tidak ada otoritas agama selain kekuasaan yang berusaha menyampaikan mau’idzah hasanah, mengajak kepada kebaikan, menjauhi keburukan. Itulah kekuasaan yang di anugerahkan Allah untuk kaum muslimin, baik orang besar maupun rakyat kecil”.

Rakyat berhak  mencopot pemimpin yang dianggap tidak memihak pada kepentingan dan maslahat rakyatnya. Sebaliknya pemimpin mereka adalah pemimpin sipil yang berkerakyatan dari semua sudut, kaum muslimin tidak mengenal istilah Teokrasi atau kekuasan agama. Seorang khalifah termasuk hakim, mufti dan pemuka agama tidak boleh mencoba mengutak atik kekuasaan agama dan mempelakukan aturan hukum secara sewenang- wenang, karena masing- masing pimpinan terebut hanya mengemban kekuasaan rakyat yang telah di gariskan oleh syariat Islam.

Disisi lain, umat mempunyai hak untuk memberikan penilaian terhadap progress report pelaksanaan kepemimpinan itu dengan cara sebaik- baiknya, bahkan juga mempunyai hak untuk memakzulkan pemimpin itu kalau sang pemimpin tidak mau berubah tetap melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Maka, kalau diperhatikan, paparan ringkas yang merepresentasikan orientasi negara Islam itu telah menunjukkan bahwa kalau demikian adanya negara Islam  seperti ini adalah lebih dekat dengan substansi demokrasi yang digembor- gemborkan oleh negara- negara barat.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah,,

Penulis adalah Dosen Fakultas Saintek UIN-SU

- Advertisement -

Berita Terkini