Krisis Dunia Masih Berlanjut? [Bagian II]

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Untuk di amerika latin fenomena penetrasi kepentingan modal AS sangat kental dengan adanya program Atlas Network, yang menjadi perpanjangan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di berbagai negara amerika latin. Secara umum 450 jaringan di seluruh dunia, Atlas Network memperoleh pendanaan dari Departemen Luar Negeri Amerika, National Endowment for Democracy, hingga para pebisnis liberal semacam Koch bersaudara (pemilik jaringan bisnis Koch Industries). Operasi Atlas Network di Amerika Latin dalam upaya-upayanya mendorong perubahan rezim di Brazil, Argentina, sampai Cile. Di Brazil, Atlas Network bekerjasama dengan jaringan liberal pro-pasar setempat untuk menyokong Gerakan Brazil Merdeka (Free Brazil Movement) guna menekan Rousseff mundur dari jabatan. Di Argentina Atlas Network menjalin hubungan dengan lembaga think tank liberal macam Fundacion Pensar untuk mendukung Macri menjadi presiden. Dan ini pula yang menjadi ruang AS masuk ke Bolivia, Ekuador dan Venezuela dengan bekerja sama pada kelompok liberal.

Indonesia Milenial

Karakteristik indonesia adalah memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang layak untuk diperjualbelikan ke pasar global. Dengan jumlah penduduk mencapai 267 juta jiwa, Indonesia di hari ini memiliki jumlah usia produktif (18-38 tahun) indonesia sebanyak 90 juta jiwa atau 34,45 % dari total keseluruhan penduduk indonesia. Namun naifnya sebagian besar masih tidak memiliki skill produktif untuk dapat mengelola sumberdaya akibat rendahnya partisipasi pendidikan yang dapat diselenggarakan negara. Indonesia dalam keadaan saat ini bukanlah sebuah negara yang dapat mandiri lepas dari cengkraman Imperialis. RPJPN 2005-2025 (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) yang mengadopsi penuh mekanisme pembangunan MDGs (Milenium Development Goals) dan tahun 2015 kembali terlibat dalam SDGs (Sustainable Development Goals)yang di sponsori oleh United Nations (PBB) dengan menandatangani dokumen “Transforming Our World The 2030 : Agenda For Sustainable Development”.

Pembangunan yang di canangkan oleh pemerintah hari ini, tidak lebih dari mensukseskan agenda besar membangun kemitraan global yang solid. Jika kelihatan saat ini sedang ramai-ramainya pembangunan infrastruktur, itu adalah sebuah agenda yang mempercepat targetan pembangunan yang selama ini terbengkalai oleh rezim politik sebelumnya. Berbagai rapat Musrembang dari Tingkatan Bapennas-Desa, saat ini digalakkan guna memastikan bahwa semua daerah di indonesia benar-benar terhubung. Namun dengan tren hegemoni AS dan RRT hari ini yang sama-sama memiliki agenda visioner. Cina yang sejak 2013 membuat agenda One Belt One Road (OBOR/Jalur Sutra baru) merupakan Jaringan dan infrastruktur yang terbangun tersebut menjadi jalan baru yang oleh Khanna disebut sebagai ‘Global Renaissance’ (dunia baru) yang mengikuti tiga pola ;1) Konektivitas merangsek ke kota-kota besar sebagai zona ekonomi khusus (special economic zones – SEZs) di seluruh dunia yang terkoneksi melalui jalan kereta api, pipa, kabel internet, dan simbol-simbol lain dari jaringan global peradaban; 2) Devolusi negara menuju agregasi propinsi bahkan kota, serta kompetisi segala sesuatu berbasis global supply chain yang mengarah pada aktivitas ekonomi-bisnis-industri lintas batas negara; 3) Kompetisi geopolitis berevolusi dari perang berdasar teritori menjadi konektivitas, berbasis rantai suplay global, pasar energi, produksi industrial, keuangan, teknologi, knowledge,dan talenta. Konsep ini juga sedang saingi oleh Australia, Amerika Serikat, India dan Jepang yang mengedepankan konsep Jalur Sutra tandingan. Dari sini kita bisa melihat bagaimana cina punya kepentingan untuk mensukseskan pembangunan yang terlambat di indonesia untuk kekuasaan alur modal dari eropa ke asia.

Untuk hasil pembangunan indonesia hari ini sejak di launchingnya MP3EI, terdapat 12 Koridor Kawasan ekonomi Khusus dengan 4 kawasan telah beroperasi. Lanjutannya adalah kawan industri yang terintegrasi ada 16 kawasan. Kesemuanya itu akan terintegrasi oleh Tol, Bandara, Pelabuhan, dan infrastruktur transportasi lainnya. Yang menarik konsekuensi regulasi yang akan terjadi dalam pengelolaan kawasan tersebut, contohnya batam yang selama ini menjadi kawasan ekonomi khusus yang berbarengan dengan bintan dan karimun. Kondisi beberapa tahun ini produktifitas Batam menurun akibat tumpang tindihnya kekuasaan kebijakan investasi antara pemerintah Kota Batam dan Badan Perusahaan Batam. Yang akan menjadi tren konflik internal. Dari sinilah kita melihat pentingnya posisi Paket Kebijakan Ekonomi yang sudah sampai jilid 16. Disinilah posisi pemerintah kita lihat sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan global. Indonesia milenial kedepan tidak lain adalah indonesia yang berjubah hasil kesepakatan global yang menggurita dan mengendalikan perekonomian indonesia.

Menghadapi program kemitraan global, indonesia diharuskan membangun hubungan dagang yang difasilitasi oleh negara-negara maju. Jika sebelumnya indonesia telah mengikuti berbagai perjanjian Free Trade Area (FTA) atauBilateral Investment Treaty (BIT) sebagai legitimasi penghilangan bea masuk di batas-batas negara. Belakangan setelah Trans Pasifik Patnership (TPP) mengalami kemunduran setelah AS keluar setelah Donal Trump terpilih dan memilih menjalankan kebijakan proteksionisme. Hari ini indonesia sedang fokus menggarap perjanjian FTA dengan RCEP yang beranggotakan ASEAN + China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru. Dalam perjanjian yang mengatur 18 bab soal perdagangan salah satu yang mengancam adalah mekanisme Investor-State Dispute Settlement mechanism (ISDS) yang membuat legitimasi investor lebih kuat dibandingkan negara tempat berinvestasi. Ini memperlihatkan bahwa kapital sangat menginginkan kepastian investasi di situasi global yang tidak menentu ini. Perlindungan kepada investor akan semakin kuat ditambah insentif investasi lain yang diberikan negara, namun perlindungan atas rakyat terkhusus buruh nihil sama sekali.

Pertumbuhan ekonomi indonesia (PDB) di angka 5,1 % dan inflasi 3,1 % dianggap sebagai prestasi yang sangat fantastis di dunia, terutama di regional ASEAN yang Pertumbuhan ekonominya dibawah indonesia. Dan untuk tahun 2019 pemerintah memproyeksikan PDB 5,3% dan inflasi 3,5% dan beberapa prediksi ekonomi mencatat pertumbuhan ekonomi dan inflasi beberapa tahun kedepan akan tetap sama. PDB untuk tahun 2018 berdasarkan pengeluaran transaksi masih ditopang oleh beberapa komponen seperti;

1. Konsumsi rumah tangga transaksi distribusi sebesar 55,26 % dengan kenaikan 5,1 % dari 2017.
2. Konsumsi Pemerintah 8,70% dan meningkat 6,28%.
3. Konsumsi LNPRT (Lembaga non Profit yang Melayani Rumah tangga) 1,19% dengan kenaikan 8,54%
4. Ekspor 22,14% pertumbuhan 7,52%
5. Impor 22,81% dengan kenaikan 14,06 %
6. PMTB (pembentukan Modal Tetap Bruto)32,12 % dengan kenaikan 6,96%.

Dan jika dilihat dari industri pengolahan masih di dominasi industri ekstraktif, seperti industri pengolahan dengan data transaksi :

1. Industri pengolahan 19,7 % dengan kenaikan 4,3%
2. Industri pertahian, kehutanan dan perikanan 13,5% dengan pertumbuhan 3,6 %
3. Industri perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 13,0 % dan kenaikan 5,3%
4. Disusul industri kontruksi sebesar 10,4% dan pertumbuhan 5,8 %.

Hal ini menunjukkan Pertumbuhan masih didorong oleh konsumsirumah tangga dari sisi pengeluaran dan industri pengolahan dari sisi lapangan usaha. Jika kita jeli melihat kembali tren penanaman modal dalam negeri saja masih masih banyak di Industri Makanan dengan total investasi Rp.21.6 T dengan jumlah 887 proyek, dan Penanaman modal asing masih dalam industri Pertambangan Rp.2.1 T dengan 585 proyek. (menurut data BPS dan laporan menko ekonomi).

Melihat situasi saat ini indonesia masih sangat berharap pada aktifitas dasar yang digerakkan oleh masyarakat bawah, yang dilihat trennya saat ini sejak 2014 transaksi masyarakat terus mengalami kenaikan seiring semakin naiknya konsumsi dan operasi produksi lokal. Melihat itu kita dapat memprediksi kemauan pemerintah untuk mengadopsi teknologi Revolusi 4.0 masih jauh dari kenyataan. Laporan dari dokumen The Future of Jobs Report2018, World Economic Forummencatatat Faktor-faktor yang menentukan keputusan lokasi kerja dengan pilihan: Fleksibilitas undang-undang perburuhan, Penyebaran geografis, Kualitas rantai pasokan, Kemudahan mengimpor keterampilan kerja, Biaya tenaga kerja, Lokasi bahan baku, kualitas manajemen organisasi, Biaya produksi, Penyediaan pendidikan lokal yang kuat, Ketersediaan SDM terampil. Dan menampilkan beberapa indikator terhadap respon menghadapi jenis pekerjaan yang akan hilang dan muncul di era digital. Melihat laporan tersebut indonesia sangat banyak membutuhkan syarat-syarat yang mencukupi apa yang disebut sebagai kemampuan atas teknologi digital. Dan indonesia masih sangat jauh dari keadaan industrial yang layak menuju teknologi itu. Disisi lain yang patut menjadi catatan adalah kesiapan tenaga produktif dalam menghadapi perubahan radikal dalam model produksi itu. Sedangkan rata-rata industri indonesia berbasis ekstraktif dan masih mengadopsi teknologi industri 2.0 dan 3.0 di setiap pekerjaan di perusahaannya. Program dari kementrian perdagangan dengan Making Indonesia 4.0 hanyalah program yang kosong dan masih menganalisa potensi yang dimiliki indonesia dan kebutuhan mempersiapkan infrastrukturnya, yang tentu sekali lagi kesemuanya itu hanya akan diserahkan pada kemampuan modal dan kemauan modal dalam negeri dan global yang masuk.

Bersambung…

Penulis adalah Moeslem Silaen

- Advertisement -

Berita Terkini