Islamisasi Ilmu, Mengislamkan Nilai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Muhammad Roni

MUDANews.com – Ilmu bisa saja secara potensial sangat destruktif, tergantung pada bagimana kita mengelolanya, meskipun ilmu dan aplikasinya dalam bentuk teknologi berkembang begitu aja tanpa pengarahan yang sistematis bisa sangat riskan, mengingat kekuatannya yang sangat besar. Oleh karena itu, segala usaha untuk menjinakkan dan menyesuaikan kekuatan raksasa ilmu dengan habitat kultural bangsa kita sehingga berdaya guna secara maksmal, perlu kita sambut  dengan gembira sebagai bagian dari tanggung jawab moral setiap cendekiawan.

Dalam hal ini, upaya islamisasi ilmu sebagai salah satu bentuk “naturalisasi ilmu” dan pandangan pandangan teoritisnya. Kalau usaha ini memang mungkin, ia bisa memberikan sumbangan yang berharga bagi upaya pencarian bentuk teori ilmiah yang cocok bagi kepribadian dan budaya bangsa ini. Menurut prediksi para pakarnya, wacana islamisasi ilmu akan menjadi issue yang populer dan berkembang di masa depan, meski kini masih berada di tahap “bulan sabit awal”. (Baca. Zainudin Sadar. An Early: The Future of Knowlege and the Environment in Islam).

Kemungkinan islamisasi ilmu, dikalangan intelektual muslim sendiri, masih ada yang menafikan perbedaan tersebut. Tetapi ada juga yang membenarkanya. Bagi kelompok yang menafikan ini yang merupakan kelompok mayoritas. Ilmu pengetahuan bersifat objektif, sehingga perbedaan antara ilmu penegetahuan modern dan islam adalah semu. Bagi mereka ilmu juga bersifat universal, sehingga bisa berlaku sama di mana saja , di Barat maupun di Timur. Parvez Hoodbhoy, seorang fisikawan muda dari Universitas Quadiazam Pakistan dalam bukunya “Islamisasi and Science”, beliau mengatakan bahwa tidak ada disebut ilmu islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu akan mengalami keagalan. Alasanya tentu saja ke Universalitas dan objektivitas ilmu.

Sedangkan bagi kelompok kedua (yang membenarkan adanya perbedaan fundamental antara epistemologi modern dan islami) ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subjektivitas sang ilmuan, dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan objektif, bebas nilai, dan universal.  Para ilmuan- ilmuan Muslim teruama yang klasik memberikan jawaban yang berbeda terhadap pertnayan diatas. Menurut mereka kita dapat saja mengetahui bukan hanya benda-benda indrawi, tetapi juga substansi-substansi spiritual, yaitu entitas entitas yang berada di luar indrawi. Yang hanya dapat diketahui melalui akal secara inferensial, atau melalui intuisi (Qalb) secara langsung atau presensial. Dengan kata lain, para ilmuan- ilmuan Muslim mengakui bagi mereka, entitas-entitas metafisik sama riilnya seperti benda-benda fisik. Bahkan sebagian mereka memandang yang pertama lebih hakiki dari pada yang kedua.

Dari kecenderungan di atas, terjadilah apa yang bisa kita sebut sebagai “sekularisasi” ilmu dengan segala konsekuensinya yang berbahaya. sekularisasi tidak terjadi begitu saja, melainkan diusahakan secara sadar dan sistematis. Holmes Rolston dalam bukunya (Science and Religion), mengatakan: Sekularisasi ini dilakukan dengan menolak secara pragmatik kategori- kategori formal dan final dalam setiap penjelasan ilmiah mereka, selanjutnya menurut Rolston, ilmu pengetahuan modren telah berhenti untuk malakukan pencarian- pencarian makna- makana dalam penjelasan ilmiah mereka, karena pencarian makna sepeti itu lebih pantas masuk ke dalam wilayah agama dari pada ilmu pengetahuan.

Dengan adanya perbedaan fundamental antara kedua sistem ilmu ini, diharapkan pembicaraan tentang islamisasi ataupun naturaisasi ilmu akan lebih bermakna. Penjajakan kemungkinan bagi islamisasi ilmu ini diharapkan dapat menjadi fondasi bagi pembicaraan selanjutnya yang berkenaan dengan naturalisasi ilmu ini. Perbedaan pandangan atau perspektif keilmuan seseorang bisa membawa implikasi yang jauh dala  sebuah teori ilmiah. Pembatasan  bidang ilmu kepada objek- objek indrawi  dan metodenya hanya pada observasi oleh ilmuan barat, terbukti telah menimbulkan berbagai masalah teologis yang serius, yang berakhir degan penolakan beberapa ilmuan modren terhadap eksistensi Tuhan dan wahyu Ilahi.

Jika kita kembali ke persoalan inti: apakah islamisasi ilmu itu perlu dilakukan? Maka jawabanya adalah bahwa islamisasi itu memang kita perlukan agar dampak negatif dari ilmu tersebut bisa dikendalikan dan dihindarkan.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah…

Penulis adalah Dosen Fakultas Saintek UIN-SU

 

 

- Advertisement -

Berita Terkini