Melacak Nalar Islam Murni: Literal Teks Mengalahkan Konteks

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Roni

MUDANews.com – Islam murni merupakan sebuah representasi sejarah pemahaman keagamaan yang mengusung wacana ketunggalan dalam berbagai hal: penafsiran tunggal, pemahaman tunggal, Islam tunggal, dan ketunggalan-ketunggalan keagamaan lainya. Yang menjadi genre utamanya adalah homogenitas, kesempurnaan Islam, dan kemapanan teks. Sedangkan jorgan utamanya adalah kembali kepada Alquran dan Hadis secra rigid dan konsekuen. Oleh karena itu, teks menjadi sebuah paragon yang diletakkan pada altar yang mahatinggi dan suci yang tidak bisa disentuh dan ditafsirkan melampaui batas-batas keotentikan artikulasi teks tersebut. (Baca: Agama Borjuis: kritik terhadap Islam Murni).

Oleh sebab itu pertarungan antara dua hal yang selalu berlawanan menjadi tidak terelakkan lagi. Antara rasionalitas dan teks (wahyu) merupakan inti dari pertarungan tersebut yang akan melahirkan berbagai petarungan lain yang masing-masing akan meneguhkan eksistensi mereka dengan berbagai dalih dan argumen yang tentu saja selalu seru untuk dicermati.

Deliar Noer, dalam bukunya (Gerakan Modern Islam Indonesia.1996), mengatakan, merujuk pada makna keberagaman sebagai ideologi yang menegaskan pemurnian Islam, yang lazimnya memang diusung oleh gerakan pemurnian. Pengertian  ini tampak dalam pandangan gerakan pemurnian, dalam hal ini Muhammadiyah, bahwa Islamlah yang paling diridhoi Allah.(baca. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah). Sementara Islam yang dimaksud bukan Islam universal, tetapi Islam sebagai nama komunitas Muhammadiyah. Bahkan Azhar Basyir, salah seorang pionir gerakan pemurnian Muhammadiyah, mengatakan bahwa berbagai kitab suci sebelum Alquran sudah dianggap berubah dan menyeleweng, dan Alquran dipandang untuk meluruskanya. (Baca. Refleksi atas Persoalan Keislaman).

Didalam wilayah sosial, Islam murni muncul dengan melakukan pelarangan-pelarangan dan pengharaman terhadap tradisi-tradisi yang diinovasi oleh Wali Songo dikatakan sebagai tradisi yang tidak berdasar dan tidak memiliki keberpijakan kepada Alquran dan Hadis. Akhirnya, muncullah pelarangan Berzanji, shalawatan, tahlilan, nyekar, tarekat, dan tradisi-tradisi lokal lainya. (Baca. PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama).

Dalam wilayah politik, Isa Ansari seorang pionir pemurnian dalam Persis berkata, dalam bukunya Islam Dan Nasionalisme, muncul ide menjadikan Islam sebagai dasar negara, umat Islam lain yang tidak mendukung ide ini, dicap Islamnya kurang mendukung umat Islam, bahkan dikatakan sesat. Dia juga mengatakan kita harus tegas menyatakan sesatnya aliran nasionalisme yang netral agama. Sederhananya muslim yang tak sepaham dengan gerakan pemurnian dalam soal aspirasi politik adalah sesat.

Dengan logika yang demikian, maka mereka yang tidak mendukung pemberlakuan  syariat Islam versi pemurnian sebagai derivasi dari ide menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dan menafsirka syariah dalam konteks – konteks yang berbeda, juga diklaim sebagai tidak berdasarkan pada Alquran dan Hadis.

Nur Khalik Ridwan mengatakan dalam bukunya (Islam Borjois dan Islam Proletar),Cara berpikir dalam nalar pemurnian Islam adalah kaitanya dengan cara melihat realitas sosial. Dalam hal ini, titik berangkat dari upaya merekonstruksi realitas soaial dalam nalar Islam murni adalah berangkat dari teks. Teks disini yang dimaksud adalah teks – teks kitab suci Alquran dan Hadis, yang kemudian dapat disebut sebagai teks I untuk membedakan dengan teks II berupa literatur-literatur yang dihasilkan dari teks I, seperti kitab – kitab fiqih, kalam, dan yang lain sebagainya.

Sebenarnya konsepsi nalar Islam Murni yang berangkat dari titik teks ini merupakan konsekuensi semata dari pemahaman gerakan pemurnian tentang prinsip  “ketaatan” dalam Islam. Misalnya seperti yang dirumuskan Azhar Basyir, bertujuan : agar orang tidak mengamalkan hukum-hukum Jahiliyyah dari pada hukum Allah, karena hukum Allah dalam nalar Islam Murni  dianggap sempurna dan terbaik, agar dalam memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan wahyu, agar orang akan mendengar dan taat  manakala diajak kembali berhukum kepada Allah dan RasulNya, agar orang mukmin menyelesaikan hukum diantara mereka dengan hukum Allah, dan agar supaya orang mukmin tidak menentukan pilihan lain bila ketentuan Allah sudah ditetapkan. (Baca. Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Hal. 138).

Dengan penjelasan diatas , asumsi terpenting dari keberangkatan teks sebagai ttik berpijak dalam merekonstruksi keberagaman gerakan pemurnian adalah karena bunyi teks dianggap mampu menyelesaikn semua masalah, dan beragama dengan memberikan kekuasan pada bunyi teks mampu menjadi penopang dan penyelesai masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, berangkat dari titik pijak teks ini sebenarnya mempunyai dua dimensi: 1) Dalam tingkat ketaatan menjalankan apa yang ada dalam bunyi teks secara leterlek yang dijadikan sebagai klaim atas keridhoan hukum Tuhan; 2) dalam menaati bunti teks dianggap sebagai penyelesai masalah yang ada dalam dimensi kemanusian umat.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah…

Penulis adalah Dosen Fakultas Saintek UIN-SU

- Advertisement -

Berita Terkini