Tragis! Dengan Dalih Operasi Anti Narkoba Polisi Filipina Membunuh 8000 Warga

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANews.com, Filipina – Ada indikasi pemalsuan bukti yang kerap dilakukan oleh polisi Filipina dalam melakukan pembunuhan terhadap warga. Pemalsuan bukti tersebut dijadikan alasan untuk melakukan pembunuhan yang dilakukan dalam ‘operasi anti narkoba’ yang diarahkan oleh Preseiden Rodrigo Duterte, dan operasi ini pun dinilai kontroversial.

Hal ini dilaporkan oleh Human Rights Watch (HRW), sebuah lembaga non pemerintah yang berbasis di Amerika Serikat, yang bergerak dalam penelitian dan pembelaan terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).

“Polisi Nasional Filipina (PNP) kerap melakukan pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka narkoba dan mereka menyebutnya sebagai pertahanan diri. Mereka menaruh senjata, amunisi, atau paket narkoba di tubuh korban untuk menuduh mereka terlibat dalam peredaran narkoba,” bunyi kutipan laporan HRW seperti dilansir CNN, Jumat (3/3)

HRW menjelaskan bahwa dalama aksi pembunuhan tersebut biasanya polisi kemudian membawa jasad korban dan memberi label dengan ‘jenazah temuan’ atau ‘kematian dalam penyelidikan’. Ha ini dijelaskan HRW dalam laporan berjudul ‘License to Kill: Philippine Police Killings in Duterte’s ‘War on Drugs’.

Semua tindakan pembunuhan yang mengatasnamakan operasi anti nakroba ini kemudian diragukan oleh HRW, atas klaim yang dilakukan pihak pemerintah bahwa para korban adalah terduga kasus narkoba. HRW pun lantas menilai hal ini adalah pembunuhan atas persaingan antar kartel.

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh HRW terdapat 24 insiden pembunuhan terhadap 32 orang. Dan dijelaskan bahwa insiden itu biasa terjadi pada tengah malam di daerah-daerah kumuh.

Berdasarkan keterangan para saksi, para ‘pria penyerang’ bersenjata melakukan aksinya dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dengan menggunakan pakaian serba hitam, terkadang menggunakan masker dan topi baseball seperti masyarakat biasa.

Kemudian tanpa memperkenalkan diri atau menunjukkan surat penangkapan, orang-orang bersenjata tersebut menggedor pintu-pintu rumah warga. Kemudian terdengar suara mencekam berupa jeritan minta tolong dan ampun atas kesalahan yang belum tentu dilakukan oleh orang yang mereka datangi, hingga dapat terdengar ke rumah tetangga mereka.

“Penembakan bisa terjadi kapan saja, di balik pintu tertutup atau di jalan, atau mereka dapat membawa target pergi, di mana beberapa menit kemudian, akan terdengar suara tembakan dan para tetangga menemukan jasad setelahnya, terkadang dengan tangan terikat,” tulis HRW dalam laporan tersebut.

Dari sekian banyak korban berjatuhan, hanya sebagian yang diklaim oleh pihak PNP, dan sisanya dijelaskan oleh pemerintah merupakan korban dari persaingan antar kartel dari sejumlah daerah.

HRW kemudian meragukan penjelasan Duterte yang mengatakan bahwa target operasi tersebut adalah bandar narkoba. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan HRW, kebanyakan korban meninggal justru merupakan hanya rakyat miskin pengangguran yang kecanduan narkoba dan merupakan korban dari para pengedar sesungguhnya.

Sejauh ini tercatat 8.000 tersangka pengedar narkoba yang tewas tanpa adanya proses pengadilan yang jelas sejak Duterte menjabat sebagai presiden pada 30 Juni 2016 lalu.

“Atas nama operasi anti-narkoba, kepolisian Filipina di bawah tekanan Duterte, membunuh ribuan warga Filipina. Kebanyakan kasus pembunuhan tersangka narkoba ini memiliki ciri yang sama, mengindikasikan satu pola kekerasan polisi,” ungkap Peter Bouckaert, salah seorang penyusun laporan HRW.[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini