Resensi Buku: Agama Dialogis (Misi Profetik Mencegah Konflik)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Peresensi: Muhammad Roni

Penulis: Dr.H.Arifinsyah
Penerbit: Perdana Publishing
Jumlah Halaman: 274 Halaman
Tahum Terbit : 2016
MudaNews.com – Buku ini secara garis besar bercerita mengenai saat era globalisasi saat ini manusia sebagai makhluk beragama berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, seakan “homo homini lupus” (manusia srigala bagi manusia lain). Belakangan ini secara transparan dipertontonkan di hadapan kita. Disana sini terjadi anarkisme, pembakaran rumah ibadah, mengusir dan membunuh orang yang sedang beribadah, teroris dan peledakan bom yang menewaskan banyak orang, kezaliman penguasa terhadap rakyatnya, rasisme, penembakan imam dan pemuka agama, pelarangan hijab, pelarangan berpuasa dan lain sebagainya.

Sehingga manusia beragama haus dan dahaga terhadap perdamaian dunia. Mereka sudah cukup lama membosani hubungan persengketaan dalam beragama. Satu sisi, agama merupakan jeritan dari manusia dari manusia tertindas. Pada sisi lain, agama bisa juga menjadi sahabat setia dari mereka yang kesakitan, kesepian dan yang kehilangan harga diri.
Agama juga tampil dalam semangat profetis yang tegar berbicara tentang perlunya pembaharuan masyarakat serta mengingatkan para penguasa untuk mengedepankan prikemanusiaan universal. Agama secara keseluruhan menampung seluruh pengalaman dialog yang berkesinambungan antara manusia dengan keabadian.

Ide yang terdapat dalam buku ini Agama merupakan ruang pembebasan dimana segala harapan dan persoalan yang mereka hadapi bisa dipikirkan secara mendalam dalam suasana dialogis. Adakah cara yang lebih baik untuk mempersiapkan masa depan kecuali dengan cara dialog, tanpa cara pemaksaan dan kekerasan. Adakah cara yang lebih baik untuk membangun masyrakat kecuali dengan menghargai harkat dan martabat manusia dan juga menghargai hak hidup serta integritas dari keyakinan-keyakinan religius mereka.
Sepanjang sejarah umat manusia, agama memiliki dua kutub menyangkut perdamaian dan keberutalan. Disatu sisi agama menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah kebencian dan intoleran. Tapi disisi laian, agama juga mengembangkan hukum dan gagasan yang telah menyediakan peradaban dengan komitmen kultural pada nilai-nilai kedamaian yang agung, meliputi empati, keterbukaan dan kecintaan, pemihakan pada kaum tertindas dan keadilan sosial.

Sejarah mencatat bahwa pada pertenganhan abad ke-20 M, tepatnya pasca kemerdekaan Indonesia, dialog antar umat beragama mulai menjadi salah satu pokok perhatian yang tinggi bagi para tokoh agama ditanah air. Sebelunya memang sudah ada, tapi baru bersifat dialogue of lif atau dialog hidup bersama. Melihat perkembangannya, dapat dikatakan sampai akhir abad 20 M, umat beragama di Indonesia masih menyimpan potensi ketegangan- ketegangan, intoleransi dan bahkan permusuhan.

Dialog sebagai salah satu bentuk pembinaan kerukunan sudah banyak dilakasanakan sejak puluhan tahun lalu. Dialog itu diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti dialog antar pemuka agama, tokoh pemuda, cendikiawan, pendidik, dan dialog antar beberapa unsur terkait. Tujuan utamanya adalah agar setiap partisipasi dapat belajar dari yang lain sehingga ia dapat berubah dan tumbuh. Peserta dialog akan dapat merubah prasangka, stereotip dan celaan yang selama ini disandarkan pada patner dialognya. Artinya akan semakin tumbuh kesadaran kolektif karena dialog mengantarkan setiap partisipan untuk memperoleh informasi, klarifikasi dari sumber patner dan dapat mendiskusikan secara terbuka dan tulus. Bukan untuk menghilangkan perbedaan, malah mengajarkan dan menyadarkan kita akan adanya realitas perbedaan itu.

Melalui dialog diharapkan kita belajar dan mengerti bahwa ada perbedaan, belajar untuk memahami tradisi yang berbeda, belajar menghormati adanya perbedan, belajar hidup dalam perbedaan, dan pada akhirnya belajar untuk membangun kebersamaan dalam perbedaan itu, karena sesungguhnya dialog yang diharapkan dari pertemuan-pertemuan antar umat beragama adalah membangun kondusufitas yang kreatif dan konstruktif demi masa depan bersama.

Pemakaian Bahasa

Jika ditelaah, menggunakan bahasa sehari-hari khas dialog kerukunan. Bahasanya ringan namun tetap sanggup menghantarkan makna yang dalam. Dalam buku ini, penulis juga banyak menyisip kata-kata yang mudah dipahami sebab ada banyak kutipan. Bagi sebagian orang, hal ini menciderai jiwa nasionalis dan toleransi yang mencoba dibangun buku ini di bagian akhir. Namun, jika kita jernih melihat, Diaolog Agama-agama

Kelebihan, Kekurangan Dan Pesan Moral

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, buku ini berhasil membuat nasionalisme lebih mudah dicerna, hal ini menjadi keunggulan tersendiri. Jangan berharap Anda akan menemukan dialog psikologis. Berbicara soal kekurangan, buku ini masukkan  untuk kerukunan antar umat beragama menggambarkan beberapa keadaan. Hal ini bisa saja membuat pembaca luar menjadi terusik dan sulit memahami.[rd]

- Advertisement -

Berita Terkini