Ironi Kebijakan Anti Rokok

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Roni Gunawan

MUDANews.com –  Beginilah buah simalakama, yang konon katanya membuat orang yang menerimanya berada diantara dua pilihan sulit, “dimakan mati bapak, gak dimakan mati emak”. Seperti itulah pandangan superfisial kita bila melihat realitas munculnya kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pengendalian tembakau atau sebut saja rokok biar lebih spesifik.

Bayangkan saja di tahun 2012 kemarin di sebuah provinsi yang bernama Jawa timur saja mampu meraup keuntungan sebesar 57 Triliun karena rokok.  Sedangkan menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) memperkirakan pendapatan pemerintah dari cukai rokok pada tahun depan mencapai Rp 87 triliun atau lebih besar dari tahun ini sebesar Rp 84 Triliun.

Tidak hanya sampai disitu ternyata penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja yang berasal dari rokok saja mencapai  jutaan orang terutama di daerah penghasil tembakau, cengkeh dan sentra-sentra produksi rokok. Sebuah angka yang fantastis untuk dapat membantu menurunkan angka pengangguran di Indonesia yang tahun 2012 semalam mencapai 7 jutaan orang.

Artinya bila ditelisik lebih dalam ternyata usaha rokok ini merupakan salah satu yang berkontribusi dalam perekonomian bangsa baik di tingkat makro maupun mikro. Sehingga bayangkan saja bila sentra-sentra produksi dan konsumsi rokok terbatasi oleh regulasi-regulasi yang kata sebagian orang dapat mengebiri produktivitas usaha ini.

“Gak dimakan mati emak”

Ternyata tidak hanya satu sisi  bila kita melihat mata uang koin di tangan kita, ada satu sisi lainnya dari adanya rokok ini. Selain membayangkan hal di atas kita juga harus objektif dengan membayangkan juga dampak akan rokok ini, ternyata angka kerugian yang ditimbulkan akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, tidak hanya dampak ekonomi ternyata bagi kesehatan rokok juga jadi malaikat pencabut nyawa yang bersumbangsih pada angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun.

Tidak hanya sampai disitu ternyata sebuah informasi mengatakan bahwa saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok.

Jadi kalau ditanya anda mau pilih mana? mau makan buah simalakama atau tidak memakannya, ternyata keduanya merupakan pilihan sulit bukan. Ternyata pilihan sulit tersebut dibiarkan mengambang sehingga sering kali berada pada garis ironi yang melibatkan hak memilih dan dikaitkan orang dengan Hak Asasi Manusia. Saya minta anda membayangkan lagi ironi keduanya dalam perpektif hak-hak hidup atau hak asasi manusianya.

Berdasarkan sebuah sumber yang saya sarikan, ternyata ada sebuah pandangan tentang rokok ini. Sebenarnya seorang perokok sudah cukup bijak, karena para perokok merupakan pembayar pajak yang tepat, karena pajak tersebut sudah melekat pada produk rokok yang mereka beli. Harusnya sebagai pembayar pajak perokok mendapatkan fasilitas yang dapat menunjang merokok seperti halnya orang yang bayar pajak-pajak lain yang ada di Indonesia seperti pajak kendaraan bermotor mendapatkan fasilitas perbaikan jalan dll. Ternyata keadaannya tidak begitu dalam perspektif sebagian perokok padahal asap pengguna kendaraan yang sama-sama mengeluarkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Bukannya malah mendapatkan fasilitas ternyata hak perokok pun kini dibatasi. Ruang isolasi bagi perokok ditempat umum sampai 3 hari kurungan penjara atau denda 50 ribu rupiah tertuang dalam perda anti rokok di Indonesia. Alasannya diterbitkan perda-perda ini adalah kepentingan kesehatan yang tidak merokok dan kepentingan HAM para perokok.

Tidak hanya sampai disitu ternyata perokok sendiri juga mendapat ancaman dari pemberlakuan kebijakan ini di beberapa daerah muncul perda tentang kawasan tanpa rokok yang dirasa mengebiri HAM dengan alasan demi kepentingan HAM. Rokok bukanlah barang ilegal jadi sebenarnya berbeda dengan membeli dan mengkonsumsi produk ilegal seperti narkoba. Para perokok tidak sepakat dengan sanksi-sanksi atas kebijakan yang ada.

Dengan alasan kesehatan, rokok mendapat pelarangan. Karena asapnya yang dinilai membawa dampak tidak hanya bagi perokok tetapi juga orang lain. Coba bandingkan dengan penjual sate , ikan, barbeque dan ayam bakar di area perda anti rokok. Asap arang dari pedagang makanan tersebut mengandung jauh lebih banyak bahan kimia berbahaya seperti: Carbon Monoxide dan Formaldehyde. 4,5 Kg arang(sekira untuk bakar 3 ikan karper besar), asapnya sama dengan 3200 batang rokok (sekira 160 pak).  Sama juga dengan Kendaraan bermotor yang menghasilkan asap dan bahan kimia berbahaya yang jauh-jauh lebih banyak ketimbang rokok. Bagaimana aturan perundangan mengatur hal ini? Apakah akan ada larangan membakar Ikan, Ayam, barbeque di tempat umum.

Perspektif Mendalam

Perdebatan antara perokok dan praktisi kesehatan tentang rokok ini salah satu muaranya adalah perpektif HAM, sehingga bila dikaitkan dengan HAM ada kehati-hatian dalam menyelenggarakannya, akhirnya kebijakan yang muncul di satu sisi memunculkan ketidak tegasan, sehingga masih ada saja celah-celah yang selalu diperdebatkan. Perdebatan ini terus mengalir, sehingga kedua sisi ini masih terus bersinggungan, tidak hanya dalam ruang publik, diskusi warung kopi juga kerap memperdebatkannya.

Ternyata dalam perspektif HAM, sesuatu hak disebut asasi jika tanpa hak tersebut derajat dan martabat manusia berkurang. Artinya jika sifatnya hanya tambahan dan jika dihilangkan tidak mengurangi martabat seseorang sebagai manusia, maka hak itu tidak dikategorikan sebagai HAM, tetapi bila merokok dikurangi apakah membuat seseorang menjadi orang yang paling nista?. International Humah Right Law mengatur hak hidup sebagai hak asasi. Pasalnya ketika seseorang dibunuh, dihilangkan dan dirampok kebebasan ekspresinya maka esensinya sebagai manusia akan hilang dan ia tidak dihargai sebagai manusia. Merokok bisa dikatakan hak, tapi cuma complimentary. Rokok bukan bagian dari hak dasar karena tanpa merokok seseorang tetap masih memiliki harkat dan martabat sebagai manusia dan tidak dipandang nista, malah semakin dipandang baik.

Selain dalam perpektif tersebut ternyata penelitian dari Universitas Indonesia tentang rokok ini menggambarkan bahwa penerimaan negara dari cukai ini, Rp 56 triliun. Namun, jumlah tersebut hanya 5-7 persen dari seluruh penerimaan negara yang tahun ini berjumlah lebih dari Rp 1.000 triliun. Selain itu, ternyata industri rokok saat ini masih terpusat di Jawa Tengah, Jawa Timur, sedikit di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Artinya, dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 28 daerah yang menjadi tempat memproduksi rokok.

Jadi kalau kita mau memandang lebih dalam ternyata rokok memang lebih banyak dampak kurang positifnya, hanya saja sebagai seseorang yang hidup dengan dengan nilai-nilai ketimuran sebenarnya tidak ada istilah anti perokok, karena perokok juga manusia. Artinya untuk mengatasi hal ini secara pribadi sikap toleran diantara kita harus tetap dijunjung tinggi, jangan menyikapi berbagai kontradiktif dengan emosional yang meledak, tapi tetap dengan santun dan bijak. Secara sistemik, tetap pemerintah harus mengendalikan ini bukan diberantas, karena rokok juga legal. Jadi kebijakan yang ditelurkan jangan menjadi kebijakan yang reaktif, tetapi harus juga prospektif menjadi penyetimbang yang tegas diantara dua kutub ini. Sehingga bila kita memandang bahwa industri rokok ini ibarat memakan buah simalakama, “bila dimakan mati bapak dak dimakan mati emak”, kita bisa mencari solusipilihan sulit itu yaitu dengan “memberi buah simalakama tersebut pada kambing”. Intinya tetap dimakan dan kita juga gak memakannya. Artinya cara pandang kita melihat kehidupan ini tidaklah pakem dan terpatri kepada sesuatu yang tidak dinamis, karena tidak ada yang statis dalam hidup ini kecuali apa yang diajarkan Tuhan.

Penulis adalah Pemerhati Kesehatan Masyarakat dan merupakan Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

- Advertisement -

Berita Terkini