MUI Medan Imbau Warga Muslim Boikot Swalayan yang Menjual Mie Mengandung Babi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Laporan: Dhabit Barkah Siregar

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Mie instan impor mengandung Babi kini tengah marak masuk ke wilayah Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Tidak terkecuali di Medan.

Mie kemasan cup bermerk ‘Kimchi’ itu, dijual tanpa ada imbauan, serta rak khusus untuk memisahkan antara produk halal dan non-halal oleh pengelola Swalayan Maju Bersama, Jalan Kapten Muslim, Kecamatan Medan Helvetiah. Hanya saja, di kemasan mie itu, tepatnya pada bagian komposisi bahan, tercantum imbauan bahwa mie mengandung babi.

Sehubungan itu, Ketua Lembaga Konsultasi dan Siyasah Syari’ah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan, Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum mengimbau, masyarakat muslim di Medan agar memboikot swalayan yang tidak dikelola secara bijak, seperti mengabaikan hak konsumen dengan menjual produk makan, minum dan obat-obatan yang mengandung bahan non-halal.

Selain itu, Hakim juga meminta warga muslim lebih berhati-hati dalam membeli produk. Terkhusus, saat membeli produk di swalayan yang dikelola oleh penduduk non-muslim.

“Kabarkan kepada umat Islam agar memboikot belanja di tempat itu sembari mendesak aparat menindaknya,” tegas Hakim melalui pesan singkat Whats App, Sabtu (18/2).

Atas temuan itu, Hakim menilai, pemerintah lalai dalam mengawasi masuknya produk-produk halal. Dan juga mensinyalir, bahwa adanya oknum tertentu dengan sengaja memasukan produk non-halal di tengah-tengah komunitas muslim demi meraup keuntungan.

“Negara harusnya sigap, tapi faktanya mereka tidak perduli, bahkan ada sinyalemen oknum-oknumnya bersekongkol dengan pedagang itu. Padahal kewajiban negara melindungi rakyatnya sesuai dengan agamanya. Inilah harusnya konsern media melakukan kritik, tapi sekaligus memberi info konsumen, khususnya Islam agar mereka tahu dengan berbagai hal, sehingga mereka tidak menjadi korban dan terjebak,” jelas Hakim.

Di Indonesia, kenyamanan konsumen sebenarnya telah dijamin dalam Undang-undang (UU) Perlindungan Hak Konsumen, UU Pangan dan UU Kesehatan. Dalam hal ini, penyediaan pangan bagi masyarakat muslim, juga dijamin dalam UU RI No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang telah disahkan pada 17 Oktober 2014 lalu.

Pemberlakuan UU itu, berhubungan dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Akan tetapi, hingga kini, kelembagaan yang disyaratkan sebagai pengawas JPH itu belum berjalan efektif. Sebab, lembaga-lembaga di bawah kewenangan BPJPH masih sangat minim Sumber Daya Manusia (SDM), baik di pusat maupun daerah.

“Namun hingga hari ini kelembagaan yang disyaratkannya sebagai pengawas JPH itu belum terisi orang-orangnya, baik di pusat apalagi di daerah. Lembaga itu bernama Badan Penyelenggara JPH dan Lembaga Pemeriksa Halal. Pasal 64 UU JPH disebut, BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 tahun sejak UU ini diundangkan, jadi limit waktu itu paling lambat  17 Oktober 2017, tersisa waktu 8 bulan lagi. Pasal 4 UU JPH menegaskan, produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Namun, Pasal 4 itu baru efektif berlaku 5 tahun,” terang Hakim sembari mengatakan, Indonesia merupakan negara hukum, di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945, pada Pasal 1 ayat 3, kemudian Pasal 29 ayat 1 berbunyi, negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa (YME), selanjutnya, di ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut kepercayaannya.[jo]

- Advertisement -

Berita Terkini