Perjalanan Panjang Sang Pahlawan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Judul : MERDEKA SEJAK HATI
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Mei 2019
Tebal : xi + 365 halaman
ISBN : 978-602-06-2296-5
E-book : 978-602-06-2297-2

Ahmad Fuadi, penulis novel mega best seller Negeri 5 Menara, kembali tampil dengan sebuah novel biografi yang sangat menginspirasi anak-anak bangsa. Tangannya yang dingin, dan gaya bahasanya dalam tulisan yang sederhana mampu menceritakan seorang anak bangsa yang dahulunya kurang dikenal sekarang telah menjadi Pahlawan Nasional, seorang tukang prostes guru menjadi Guru Besar, yaitu Lafran Pane.

Usia dua tahun Lafran Pane telah menjadi anak piatu. Ia tidak sempat lama merasakan kasih sayang dari Sang Ibu (Gonto) seperti Kakak-kakak dan Abang-abangnya. Masa kecilnya pun jarang bersama Sang Ayah (Sutan Pangurabaan Pane) karena sibuk dengan kerjanya. Lafran pun tumbuh menjadi anak yang bandal di masa kecilnya. Semenjak kecil Lafran di asuh oleh neneknya. Kemudian pindah ke Medan dibawa oleh Kakaknya, Sitiangat.

Lafran Pane lahir agak cacat, tapi bukan secara fisik. Sewaktu kecil neneknya pernah berkata bahwa ia lahir tanpa rasa takut. “Pernah Nenek bilang kalau aku dilahirkan agak cacat. Tapi bukan cacat secara jasmani. Cacatku, aku lahir tanpa dilengkapi rasa takut.” (Hal: 5).

Di Medan, Lafran disekolahkan oleh Kakaknya ke Taman Siswa. Tapi Lafran jarang masuk. Bukan hanya jarang masuk sekolah, tapi ia jarang pulang ke rumah. Di Medan ia pernah menjadi penjual es lilin yang membuat kakaknya berang. Ia penjual karcis bioskop dan menjadi petinju. Ia bandal karena ingin merdeka dari sesuatu yang membuat ia terkekang. Menjadi orang susah tidak masalah baginya, yang penting merdeka. Ia lebih nyaman di jalanan daripada di rumah kakaknya.

“Di jalanan aku tidak pernah merasa jadi penumpang. Jalanan milik semua orang. Walau bagaimanapun sederhananya, kami punya hidup kami sendiri, sesuai usaha kami sendiri. Rumah selalu aku jadikan pilihan terakhirku. Bukan aku menolak kasih sayang dari kakakku, tapi perhatian yang diberikan kawan-kawanku di jalanan lebih menyenangkan.” (Hal: 42).

Kebandalannya di Medan, seperti bolos sekolah membuat Lafran pun dipecat. “Guru ini menjelaskan aku telah dipecat dari Taman Siswa karena sering melanggar disiplin dan sering bolos sesuka hati.” (Hal: 53). Pada saat itu juga kakaknya ampun dengan kebandalan Lafran. Ia pun dikirim ke Batavia dengan alamat dua sastrawan terkenal di tangannya, yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane. Kedua-duanya adalah abang kandungnya.
Di Batavia (Jakarta sekarang), ia kembali pada kebandalannya seperti di Medan. Jika di Medan ia pernah berkelahi dengan premen, di Pasar Senen ia pun kembali berkelahi lagi dengan preman. Bos dari preman itu, dipanggil Bang Perak, tumbang saat berkelahi dengannya, sehingga Lafran pun disegani. Walau ia disegani, ia tidak pernah seperti preman-preman di sana. Ia tidak pernah meminta setoran pada pedagang kaki lima. “Bahkan beberapa pedagang seperti tukang nasi atau tukang pisang, mulai memberikan dagangan mereka gratis sebagai upeti padaku. Tapi aku tolak.” (Hal: 80).

Karena berhasil menumbangkan Bang Perak, namanya pun menjadi bahan pembicaraan. Salah satu geng motor, bernama Zwere Bende, mengajak bergabung. Geng motor itu pun menjadikannya orang yang disegani dan dihormati. Di geng ini lah karir terakhirnya di jalanan setelah ia dipenjara kedua kalinya dengan tuduhan penganiayayan, padahal ia tidak pernah sama sekali melakukannya. (Hal:85).

Untunglah guru yang ia segani di MULO Muhammadiyah, tempat ia sekolah setelah pindah ke Batavia, mengeluarkannya dari penjara dengan Lafran berjanji tidak lagi bergabung dengan geng motornya. Lafran pun menepatinya. Pal Wilopo mau mengeluarkannya karena ia melihat potensi besar pada diri Lafran. Pak Wilopo pun memotivasinya supaya berubah. Pak Wilopo pun sukses merubah Lafran dari yang egois menjadi pemuda yang mulai memikirkan negara dan bangsanya.

Lafran pun menjadi “Manusia Baru” sebagaimana isi sajak dari Abangnya, Sanusi Pane. Setelah tamat dari MULO Muhammadiyah, Lafran pun masuk ke sekolah Taman Siswa saat usia 17 tahun. Di sekolah itu lah ia bertemu dengan D.N. Aidit. “Di usiaku yang ke-17 ini, aku mulai bersemangat mengikuti diskusi kebangsaan di sekolah. Kalau sudah membahas nasib kemerdekaan Indonesia ini, aku sanggaup berdikusi kapan saja dan di mana saja.” (Hal: 93).

Lafran pun mulai aktif memikirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia bergabung dengan kelompok muda revolusioner. Ia banyak ikut rapat-rapat pergerakan, ia banyak membaca, berdiskusi dan aktivitas gerakan kemerdekaan lainnya. Ia juga ikut mendesak supaya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada saat Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Lafran Pane beserta kaum muda lainnya ikut berada di sana. Sungguh betapa bahagianya, “Ingin aku berteriak ke seluruh dunia, inilah kami, Indonesia. Hari ini sudah kami hancurkan rantai besi penjajahan. Kami kini negara bebas. Negara merdeka. Yang sederajat dengan bangsa-bangsa bebas lainnya.” (Hal: 137).

Demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang belum aman dari sekutu, ia pun memilih caranya sendiri. Yaitu lewat jalur pendidikan. Untuk itu ia harus sekolah lebih tinggi lagi. Ia pun ingin sekolah yang ada pendidikan Islamnya. Akhirnya ia masuk Sekolah Tinggi Islam (STI), yang baru berdiri waktu itu.

Pada saat kuliah ini baru sadar, bahwa pemuda-pemuda Islam tidak percaya diri dengan agamanya. Shalat masih jarang terlihat di kalangan pemuda. Islam masih hanya dijadikan lebel agama saja. Ia pun berniat membentuk sebuah organisasi untuk mahasiswa Islam sebagai wadah perjuangan mahasiswa-mahasiswa Islam. Dengan perjuangan bersama teman-temannya yang sepaham, 5 Februari 1947, mereka pun mendirikan HMI.

Setelah ia berjuang lewat HMI-nya, Lafran pun berjuang menjadi seorang guru, tepatnya menjadi dosen setelah selesai kuliah. Ia menjadi dosen yang sederhana dan tidak haus jabatan dan juga haus harta. Banyak tawaran jabatan penting ia tolak, dan tetap pada pendiriannya yang idealis, sederhana dan independen. Ia menjadi guru karena ia sadar darah yang mengalir di dalam tubuh adalah darah guru, Ayahnya.

Dipuncak kariernya, sebagai penanam peradaban, Lafran pun menjadi Guru Besar FKIS-IKIP Yogyakarta. Ia menjadi Profesor atau ahli ilmu Tata Negara. Ia berhasil menjadi seorang pejuang kemerdekaan, aktivis mahasiswa, berjiwa agamis dan nasionalis, menjadi Guru Besar, menjadi seorang Ayah dan seorang Kakek dan menjadi Pahlawan Nasional.

Dalam buku ini, Ahmad Fuadi sangat apik dan lihai menceritakan perjalanan kehidupan Lafran, sehingga dapat menjadi inspirasi kaum muda dan kaum tua, terkhususnya Keluarga HMI, para akademisi dan para pejabat-pejabat negara. Kontribusi pemikirannya terhadap umat dan bangsa ia tuangkan lewat HMI dan karya tulisnya dan ilmu yang disampaikannya sejak menjadi dosen.

Singkatnya, Ahmad Fuadi, merekam perjalanan Lafran dalam beberapa babak. Pertama, babak masa kecil, remaja dan pemuda tanggung yang bandal. Kedua, Lafran menjadi “Manusia Baru”. Ketiga, menjadi seorang Ayah, Guru Besar, seorang Kakek hingga wafat. Dari perjalanan panjang hidup hingga wafatnya, Lafran pun di anugerahi sebagai Pahlawan Nasional.[]

*Peresensi adalah Penggiat Literasi di Kota Medan.

Oleh: Ibnu Arsib

- Advertisement -

Berita Terkini