Orangtua Sibuk dan ‘Busung Lapar’ Rohani Anak

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Nanang Djamaludin

MUDANews.com – Kesibukan yang padat dan menyita waktu setiap hari, membuat banyak orangtua modern, baik dari kalangan menengah-bawah maupun menengah-atas, merasa kedodoran dari segi waktu untuk membangun kebersamaan bersama buah hati tercinta di rumah.

Kesempatan menanamkan dan mengembangkan pengetahuan dan nilai-nilai baik dan benar pada diri anak pun sulit dilakukan, apalagi diprioritaskan. Terlebih ketika seperangkat metode dan teknik jitu untuk “menginstalkan” program-program luhur dan mulia ke dalam diri anak, agar anak berperilaku sebagaimana diharapkan orangtua, juga belum diketahui, atau setidaknya belum sempat dipelajari oleh orangtua, khususnya para orangtua muda.

Berkubangnya banyak orangtua di dalam lumpur kesibukan sebagai homo economicus di tengah belantara praktik ekonomi neoliberal seperti saat ini, disadari atau tidak, perlahan tapi pasti, dapat mengarah pada pengabaian fungsi mendidik anak sebaik-baiknya sepenuh cinta yang otentik.

Atau setidaknya, jikapun masih merasa punya waktu mendidik anak secara langsung, namun cuma bisa mengambil peran itu secara minimalis saja. Atau mungkin sekedar memberi makan dan memenuhi kebutuhan fisik anak seraya “menyubkontrakkan” proses pendidikan anak lewat asisten rumah tangga dan persekolahan saja, maupun sekedar memberikan uang saku sebagai substitusi atas kealpaan peran yang sewajibnya dilakukan orangtua.

Sementara, seturut hal itu berlangsung, betapa akhirnya membuat anak dalam kesehariannya menjadi begitu miskin dari pengalaman-pengalaman yang memperkaya fungsi luhur otak dan jiwanya, seperti:

Pertama, pembicaraan-pembicaraan santai dan akrab penuh kualitas cinta dan kebersamaan yang dimuati penanaman dan refleksi-refleksi atas nilai-nilai terpuji dari ayah-bundanya.

Kedua, terpaan pengaruh perilaku keseharian penuh keteladanan dari orangtua yang dilihat dan didengar anak secara langsung, serta mampu menginspirasi anak mengimitasi perilaku teladan dari ayah-bundanya.

Padahal bentuk-bentuk pengalaman itu ketika mentradisi secara kuat di dalam keluarga, akan sangat efektif membangun pondasi yang kokoh bagi pembentukan kepribadian dan karakter positif dan mulia bagi diri anak ke depannya nanti.

Sebaliknya, jika kedua bentuk pengalaman itu tidak hadir secara signifikans dalam struktur pengalaman anak, atau malah yang hadir setiap saat adalah anak lebih sering mendengar percekcokan hebat ayah-bundanya, maka itu artinya ada masalah serius pada asupan “gizi rohani” yang amat dibutuhkan oleh anak.

Sehingga anak pun terancam “busung lapar rohani”, yang pada gilirannya akan memicu berkembangnya beragam perilaku bermasalah anak, yang akhirnya menuju pada perilaku buruk anak secara aktual atau manifes.

Sebagaimana diketahui, bahwa untuk kebutuhan pertumbuhan fisik anak, maka anak membutuhkan asupan makanan bergizi seimbang, meski tentu tak harus makanan mewah. Dan untuk pertumbuhan jiwanya, anak seaungguhnya butuh asupan “makanan rohani” dari kedua orangtuanya secara seimbang, yakni cinta melalui pendidikan di dalam keluarga yang menumbuhkan daya nalar dan budi pekerti luhur pada diri anak sebaik-baiknya.

Dan kealpaan orangtua dalam peran langsungnya memberikan asupan makanan rohani anak dalam bentuk mentransfer sebanyak-banyaknya nilai positif pada diri anak sepenuh cinta, justru peran itu berpeluang untuk “disabotase” orang lain atau oleh figur-fifur dan otoritas-otoritas lain (internet misalnya), yang kemudian lebih dipercaya oleh anak mengisi hari-harinya ketimbang orangtua.

Lalu dari situ akan terinstallah struktur pengalaman anak atau program-program perilaku anak bernilai buruk, yang kemudian akan diimitasi dan dipraktekkan oleh anak, hingga akhirnya sampai pada kesempurnaan proses pembentukan dan aktualisasi karakter buruknya tersebut.

Jika sudah demikian, paling sering dan paling banter orangtua dengan anak berperilaku bermasalah atau berperilaku buruk itu, pada sesi-sesi konsultasi dengan saya, misalnya, justru memberikan apologi seakan-akan tidak merasa ikut berkontribusi dalam pembentukan perilaku tersebut, dengan mengatakan, seperti:

“Saya dan suami saya tidak pernah mendidik anak saya seperti itu, saya sekolahkan dia di tempat yang baik, uang saku juga tidak kurang saya berikan, malah lebih banyak dari anak lain. Justru saya tak habis pikir, kok anak-anak saya jadi seperti begini!”

Lantas, akankah anda dan pasangan anda masih merasa tidak punya waktu cukup untuk anak anda, atau cuma sanggup berperan minimalis saja sebagai orangtua sambil menanti perwujudan perilaku buruk secara aktual dalam diri anak anda, wahai keluarga muda?

Salam Anak Nusantara.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Keayahbundaan dan Kota Layak Anak (informasi konsultasi dan pelatihan: 085716260480)

- Advertisement -

Berita Terkini