Fenomena Dalam Realitas Nilai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Berbagai peristiwa datang silih berganti tentunya, suhu politik terus-menerus mengalami perubahan, dan pertempuran antara Islam dan kekufuranpun berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, namun yang pasti adalah bahwa hal ihwal hanyalah bagaikan anak-anak yatim yang berada di atas onggokan sampah. Ruh shahwah islamiyyah pada masa modern mendapatkan warisan kronis berupa penyimpangan dan kemunduran (pergeseran nilai) secara menyeluruh, sebagai akibat dari ketidakberdayaan dan kelemahan yang dialami pada masa-masa sebelumnya.

Ruas keselarasan tidak akan sanggup mendrive untuk bangkit dari ketidak berdayaan dan kelemahannya hanya dengan melalui usaha individu-individu yang bersifat terbatas, sebesar apapun kemampuan dan kesanggupan yang dikerahkan. Akan tetapi semuanya membutuhkan kemampuan dan upaya secara menyeluruh yang saling menjaga, melengkapi dan membesarkan. Jika demikian keadaannya, maka bentuk kesahajaan itu bisa dijadikan sebagai parameter untuk mendapatkan karunia, yang dapat berjalan dengan penuh kepercayaan diri serta ketenteramannya. Dan meskipun perjalanannya terasa berat dengan berbagai fenomena karena banyaknya rintangan, akan tetapi disuatu hari kelak, tidakkah ada di antara kita yang bertanya kepada dirinya: Apakah peran yang harus dipersembahkan dalam meniti perjalanan panjang?

Apakah cukup bagi seseorang untuk hidup hanya sebagai penonton? yang menyaksikan perjalanan shahwah islamiyyah hanya dari jauh tanpa ikut serta mengambil perannya, kecuali hanya sekedar bertepuk tangan dan dengan mengelus dada? Ataukah cukup bagi seseorang untuk ikut berperan hanya dengan memperbanyak jumlah dan kwantitas orang-orang shalih? Ataukah cukup bagi seseorang untuk berperan hanya dengan mengucapkan la hawla wa la quwwata illa billah dan inna lillahi wa inna ilayhi roji’un, tatkala amal atau gerakan mengalami musibah yang menyedihkan atau bahkan sangat menyedihkan?

Tentu tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan keteledoran yang sangat meninabobokan suatu nalar, sehingga menyebabkan kebanyakan orang tidak mau untuk ikut andil dan memberikan daya upayanya. Mungkin suatu bentuk rasa syukur kita tentunya karena memiliki kemampuan yang tiada batas, akan tetapi kemampuan tersebut masih bersifat pasif, beku/statis dan belum tergali untuk dimanfaatkan secara maksimal dan optimal dalam berkhidmat. Bahkan kebanyakan kemampuan yang kita miliki ini dililit oleh berbagai ketidakberdayaan dan kelemahan. Sehingga tidaklah mengherankan bagi kita tatkala melihat kebanyakan perilaku orang-orang shalih yang terlahir dalam angka bukan oleh value (jumlah mereka hanyalah sanggup untuk memberatkan bumi, namun mereka tidak sanggup untuk memperjuangkan sesuatu yang agung).

Hakikinya sumber daya yang dimiliki bukanlah berupa harta, persenjataan ataupun sumber tambang dan hal lainnya, karena sesungguhnya sumber daya hakiki tersebut adalah sumber daya manusia yang perkasa, yang memiliki tanggung jawab untuk mengemban amanah yang agung. Sumber daya hakiki berupa jiwa yang senantiasa siap untuk mempersembahkan dan bahkan mengorbankan untuk mengayomi dan melindungi-Nya tentunya (jadilah seorang kesatria yang berdiri kokoh di atas tanah, namun cita-citanya tinggi menerawang hingga menancap di atas langit).

Sampai saat ini pun belum ada suatu hal yang dapat membinasakan kemauan/ambisi kuat seseorang kecuali karena dirinya sendiri, yaitu dengan merendahkan dan membungkus dirinya dengan kelemahan, hingga melumpuhkan tekadnya dan ia pun tidak sanggup lagi untuk bergerak dan beraktifitas. Yang membuat kemampuan seseorang terasa hambar dan tidak bermanfaat tiada lain adalah karena ia mengganggap dirinya sebagai orang yang lemah serta tidak sanggup untuk beraktifitas dan bekerja secara kreatif. Akan tetapi pada umumnya, kebanyakan orang tidaklah akan sanggup untuk menggali kemampuan dan potensi dirinya kecuali melalui pelatihan dan pengalaman yang didapat secara continue.

Tentu sudah merupakan suatu hal yang lumrah bahwa hasil kerja seseorang sangatlah tergantung pada kadar kemauan/ambisi dan tekadnya. Seseorang yang memiliki kemauan atau ambisi adalah seseorang yang memiliki tujuan dan cita-cita tinggi, walaupun bisa jadi pada saat tertentu kemampuannya belum mampu untuk menggapainya. Namun ia akan senantiasa berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya hingga ambisi dan cita-citanya tercapai. Dan apabila kemampuannya telah tumbuh dan tergali, maka ia tidak akan berhenti pada sasarannya yang pertama saja, tetapi ia pun terus meningkatkan dan menggalinya dengan lebih seksama tentunya.

Pada fase merengkuh kemuliaan. Di saat orang lain tiada berkeinginan menggapainya. Mereka anggap kemuliaan sebagai kehinaan hingga kebanyakan mereka bermalas-malasan. Tiadalah sanggup untuk menggapai kemuliaan, kecuali seseorang yang mau bekerja keras dan mau bersabar. Jangan samakan kemuliaan dengan sebiji korma yang gampang di telan. Dan tiadalah dapat merengkuh kemuliaan, kecuali dengan membawa dan mengepakan sayap kesabaran.

Dalam hal ini mengatasi pergeseran nilai tentu ada pada keteguhan iman yang di perkuat oleh ilmu pengetahuan dan hati sehingga melahirkan sebuah pengamalan serta suatu hal yang baru pada tatanan nilai sehingga peradaban itu mampu maju dan berkembang dengan sebagaimana mestinya pada realitas waktu. Konsekuensi logis pada seluruh tatanan kehidupan, dzat maha jujur adalah waktu dalam memprakarsai nilai dan kita adalah pemimpin didalam seluruh tatanan dunia.

Rahmat Nuriyansah Ketua Bidang Pengembangan Ilmu Pengetahuan & Eksplorasi Tekhnologi PKC PMII Jawa Barat

- Advertisement -

Berita Terkini