Koruptor (Tidak) Bisa Dihukum Mati

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Abd. Rahman M

MUDANews.com – Ironis, itulah kata pertama yang keluar dari mulut kita tatkala para koruptor divonis dengan hukuman seringan-ringannya. Lantas banyak wacana berseliweran di media-media yang digalang oleh ormas-ormas, akedemisi, masyarakat, dan pemerintah untuk memiskinkan atau menghukum mati para koruptor.

Wacana hukuman mati ini, bisa saja terealisasi. Tetapi, jika menyangkut masalah koruptor tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tangan yang akan berkerja jika menyangkut masalah hukuman untuk para koruptor.

Susahnya menjerat para koruptor dikarenakan banyaknya finansial yang mereka miliki, pengaruh kuat para pelakunya di tatanan keorganisasian, lembaga, dan bisa juga pelakunya adalah orang yang serba tahu seluk-beluk pemain-pemain di belakangnya. Tentulah banyak kepentingan yang bermain untuk mengamankan si koruptor tersebut. Hukuman mati bagi para koruptor sebaiknya jangan selalu diumbar-umbar karena hukuman kurungan seumur hidup saja masih sangat sulit dijatuhi kepada para pelakunya. Baru ada dua pelaku yang dijatuhi hukuman seumur hidup kepada Akil Mochtar dan Adrian.

Tanda tanya besar di dahi penulis, ketika melihat para pelaku koruptor selalu melambai-lambaikan tangannya dan melempar senyuman manis ketika sedang disorot awak media. Kata-kata pamungkas para koruptor juga selalu sama yaitu mengatakan bahwa mereka dizalimi, diperlakukan tidak adil, dijebak, dan mengatakan bahwa sedang mendapatkan cobaan dari yang kuasa. Belum pernah ada koruptor yang meminta maaf dan mengakui kesalahannya yang ada malah merasa benar dan merasa tidak ada melakukan kesalahan sedikit pun. Seolah-olah mereka adalah orang suci yang sengaja dijerumuskan dan dikriminalisasi.

Jujur saja, saat ini memang kejujuran adalah barang langka dan mau mengakui kesalahan dan memimta maaf sudah jadi hal yang sulit ditemukan. Tetapi jika koruptor tersebut sudah jelas-jelas tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) masih juga mengelak mengakuinya dan berkelit bahwa tidak tahu-menahu uang tersebut ada padanya dan merasa dizalimi, bukannya mau mengakui dan meminta maaf. Sungguh aneh memang melihat tindak-tanduk koruptor di negeri ini.

Lemahnya hukuman yang diberikan pada terpidana koruptor inilah yang membuat mereka semakin menjadi-jadi bukannya semakin berkurang. Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi, kejaksaan banyak menangani kasus korupsi yang berujung ketok palu ditangan hakim dengan hukuman seringan-ringannya untuk ukuran perampok uang rakyat.

Korupsi sudah menjalar ke berbagai aspek mulai dari atas sampai bawah. Orang yang bekerja di pemerintahan, politisi, swasta, dan birokrasi sangat rentan dengan penyelewengan uang negara (rakyat). Anggaran yang seharusnya untuk kepentingan umum dipotong sedemikian rupa dan dibagi-bagikan pada konco-konconya di ruang lingkup mereka.
Ketika para koruptor ini tertangkap, maka otomatis banyaklah tangan-tangan yang bekerja untuk meringankan hukumannya karena sudah adanya gotong royong dalam merampok uang negara (rakyat) tersebut. Jadi, janganlah pernah bemimpi koruptor akan dihukum mati di negeri ini menjadi kenyataan. Sebaiknya kita sedia payung sebelum hujan agar kelak diri kita sendiri tidak ikut serta menikmati uang dari hasil korupsi.

Hukuman Mati dalam UU Tipikor

Hukuman mati pada koruptor sebenarnya sudah diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari pasal 2 ayat 1 yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan negara. “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

Sebelumnya kita patut berbangga dengan adanya UU Tipikor yang sangat keras memperingatkan para calon koruptor untuk tidak melakukan tindakan penyelewengan uang negara. Perlu dicatat bahwa hukuman mati tersebut bisa dilakukan dengan kata kunci “keadaan tertentu”. Di sinilah UU Tipikor menjadi semacam celah bagi pelaku koruptor untuk lolos dari hukuman mati. Ancaman hukuman mati ini selama belum ada keberanian dari DPR (parleman) sebagai pembuat undang-undang untuk merevisinya kembali agar hukuman maksimal untuk koruptor bisa dilaksanakan.

Jalan panjang dan terjal untuk menerapkan hukuman mati kepada koruptor seakan tidak ada habis-habisnya. Sebagaimana kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini, bahwa mereka melakukan kejahatannya tidak sendiri melainkan berjamaah. Maka, mulai sekarang jangan lagi heran jika koruptor tidak akan bisa dihabisi di negeri ini selama hukuman yang diberikan masih ringan. Keberanian untuk merevisi UU Tipikor seakan-akan sulit dilaksanakan. Bagaimanapun juga para koruptor banyak dari kalangan politisi yang berprofesi sama dengan mereka.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan dari tingkat pendidikan 600-an koruptor yang ditangkap KPK dominan S2 hampir 200 orang, disusul S1 dan S3 40 orang (detik.com 24/11/2016). Laode menambahkan 32 persen perwakilan partai politik dan kebanyakan para koruptor memiliki koneksi dengan kekuasaan dan partai politik. Kembali lagi kita dibuat tercengang dengan data dari KPK bahwa kaum intelektual adalah bagian dari para koruptor.

Mengenyam pendidikan bukan malah membuat hati menjadi tenang malah menjadi lapar dan haus akan uang. Koruptor tidak akan bisa dihukum mati di negeri ini selama kebijakan dan UU Tipikor masih ada kata kuncinya “keadaan tertentu”. Masih banyak koruptor dari kalangan orang berpengaruh di negeri ini maka semakin tidak mungkin hukuman mati diterapkan.

Koruptor yang telah menjalani hukuman pun seakan-akan dengan mudahnya masuk kembali ke bidang yang ditekuninya dan mulus duduk kembali di tempat-tempat yang strategis. Entah mengapa sewaktu masa pemilu masih banyak yang mendukung dan memilihnya. Masyarakat kita yang terlanjur pemaaf atau mereka para koruptor yang sudah bertobat sehingga dengan sangat mudahnya mereka duduk di tempat-tempat strategis.

Sampai sekarang penulis dan mungkin keinginan mayoritas masyarakat Indonesia ingin menyaksikan adanya permintaan maaf dari para koruptor yang telah menyelewengkan uang negara (rakyat). Itu saja sudah lebih dari cukup daripada wacana hukuman mati yang mirip panggung sandiwara.

Banyak politisi kita yang mengatakan bahwa hukum itu jangan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Ucapan seperti ini sering dipertontonkan ketika ada lawan-lawan politik mereka yang sedang tersandung kasus. Jadi mereka pun mengamini bahwa hukum itu tumpul ke atas bukan? Mereka pesimis dengan hukuman yang akan menjerat lawan-lawan politiknya.

Kita sebagai masyarakat biasa harus bisa dengan lihai memaknai ucapan mereka. Mereka pun tidak percaya hukuman berat menanti para pelakunya jika orang tersebut adalah orang yang memiliki pengaruh, wewenang, uang, dan kekuasaan. Secara tidak langsung mereka menunjuk hidung mereka sendiri karena mereka juga adalah politisi yang memiliki pengaruh, wewenang, uang, dan kekuasaan juga. Penulis tersenyum kecut pernah membaca sebuah tulisan yang isinya koruptor juga teroris! Berarti terlalu banyak teroris di negeri ini bukan dan mereka dihukum seringan-ringannya.[jo]

Penulis adalah Alumnus di Unimed

- Advertisement -

Berita Terkini