Dosen Unsyiah Aceh, Arwan Kritik Tajam Demokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Lhokseumawe – Pada hakikatnya Demokrasi memberikan ruang yang begitu luas pada tiap-tiap warga negara, untuk memberikan ekspresi baik secara lisan maupun tulisan.

Namun hal itu, sudah macam tidak berlaku di salah satu universitas ternama di Aceh, yang lazimnya kampus adalah laboratorium intelektual, mencetak manusia berakal sehat, namun malah berbanding terbalik di kampus tersebut.

Pasalnya, ada seorang dosen yang memberikan Uneg-unegnya kepada pimpinan fakultas melalui group whatsapp, namun apa jadinya ekspresi dan kebebasan berpendapatnya itu malah berakhir tragis.

Berikut tulisannya
“innalillahi Wa innalillahi raji’un, Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin.
Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada
fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu
membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker
atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi,” ungkap Saiful Mahdi, salah satu Dosen Universitas Syi’ah Kuala dalam Grup Whatsapp Unsyiah KITA (Dikutip dari Rilis Sikap LBH Banda Aceh) Maret 2019.

Akibatnya, Dosen tersebut pun dilaporkan ke Pimpinan Universitas. Namun tak hanya disitu, masalah Sang Akademisi itu pun dibawa ke jalur hukum (Kepolisian).

Dan Pada tanggal 30 Agustus 2019 Saiful Mahdi kembali mendapatkan panggilan ke 3 sebagai Tersangka untuk pemeriksaan tanggal 2 September 2019 yang diduga terjerat UU ITE.

Melihat hal itu, berbagai elemen pun ikut mengecam atas kejadian yang menimpa sangat akademisi itu, dari LBH Banda Aceh, hingga Mahasiswa.

Salah seorang mahasiswa asal Sumut pun ikut mengomentari. Menurutnya sifat Demokrasi harusnya bagai bola mata yang luas.

“Harusnya Demokrasi punya ruang yang luas, seperti halnya bola mata bebas melihat, begitulah Berikan warganegara berpendapat,” ucap Arwan Syahputra, Mahasiswa Hukum Unimal (01/09/2019).

Ia menyayangkan, harusnya kampus turut hadir mengasah potensi akademisi yang kritis bukan malah membungkam.

“Jika masalah itu saja dilaporkan ini namanya pembukaman, harusnya masalah sedemikian masih bisa memakai adat adat kekeluargaan, bukannya malah dilapor yang membuktikan pimpinan kampus tempramental,” terangnya.

Menurutnya kebebasan berpendapat itu bagian dari Hak Azasi Manusia yang mestinya dilindungi bukan malah dikerdilkan.

“Hak asasi manusia (HAM) yang dijamin UUD 1945 Amandemen ke II, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2). Sementara, Pasal 28 E ayat (3) secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat. jadi harusnya dilindungi lah,” tegasnya.

“Juga di Atur dalam Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM secara lebih dalam mengatur tentang kebebasan berekpresi yang secara internasional juga bahkan dijamin Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005,” pungkasnya.

Dan ia mengatakan bahwa adanya masalah yang menimpa sang dosen di Unsyiah adalah bukti Demokrasi tengah diperkosa.

“Demokrasi kita sudah diperkosa, kebebasan berpendapat sudah di bungkam, dan ini sungguh kelewatan,” pungkas Arwan.

Dan ia menegaskan bahwa harusnya kampus kembali jadi laboratorium intelektual.

“Harusnya kampus hadir jadi laboratorium intelektual, bukannya malah menginjak rasio, melapor orang kritis dengan dalil nama baik,” tegasnya.

Harapnya agar kiranya penegakkan hukum dilakukan se adil-adilnya.

”Pihak Kepolisian hendaklah adil dalam menjalankan proses pemeriksaan, yang secara objektif dalam melihat kasus ini,” tandas Arwan Syahputra. Berita Lhokseumawe, AR

- Advertisement -

Berita Terkini